Mohon tunggu...
Rikho Afriyandi
Rikho Afriyandi Mohon Tunggu... Guru - Kaum Rebahan

Menulis apa yang ingin ditulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Derajat Kemuliaan Makhluk Perspektif Iblis

5 Mei 2020   19:10 Diperbarui: 7 Mei 2020   02:11 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Iblis. Sumber:kalam.sindonews.com

Kesalahan dalam memahami tolak ukur kemuliaan seorang makhluk akan sangat berakibat fatal. Lebih lagi tidak dilandasi dengan dasar yang kuat. Salah satunya dapat kita lihat melalui apa yang telah dilakukan oleh Iblis, hingga menyebabkan ia akhirnya menjadi seorang makhluk yang "rendah."

Lalu, apa yang menjadi standar iblis dalam menilai kemuliaan makhluk? Hal itu sama-sama dapat kita lihat melalui penjelasan Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 34:

Terjemah: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan, dan takabur (sombong), dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.

Kemudian, Allah bertanya mengapa Iblis tidak mau sujud kepada Nabi Adam. Iblis pun menjawab sebagaimana dijelaskan dalam surah Shaad ayat 75-76:

Terjemah: (75) Allah berfirman: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kekuasaan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi? (76) Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah"

Iblis mengatakan bahwa ia lebih baik daripada Nabi Adam karena ia diciptakan dari api, sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Dengan kata lain, bahwa derajat kemuliaan seorang makhluk dalam perspektif iblis adalah dari unsur penciptaannya.

Sedikit membingungkan memang, ketika ditanya apa sebenarnya landasan iblis bisa menyebutkan bahwa penciptaannya dari api lebih mulia dari yang diciptakan dari tanah. Namun yang jelas, tingkah laku iblis itu menyebabkan ia keluar dari Surga, dan menjadi makhluk yang terkutuk, sebagaimana dijelaskan dalam surah Shaad ayat 77-78:

Terjemah: (77) Allah berfirman: "kalau begitu keluarlah kamu dari surga; Sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, (78) Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan".

Melalui kisah iblis tersebut, sebenarnya kita belajar bahwa apa yang dilakukannya itu, yakni menganggap unsur penciptaannya dari api lebih mulia dari tanah adalah kesalahan yang fatal. Pun kita harus mewaspadai, jangan sampai kita ikut terjebak dengan apa yang telah dilakukan iblis tersebut, pun dengan "sesuatu" yang hampir serupa dengannya.

Misalnya, kita menganggap derajat kemuliaan dari segi jenis kelamin. Jika kita menganggap makhluk yang berjenis kelamin laki-laki adalah orang yang mulia, maka tidak heran jika kita akan merendahkan lawannya, yaitu perempuan. Begitu juga sebaliknya, ketika kita memahami bahwa perempuan lebih mulia, maka laki-laki akan dianggap lebih hina, dan sudah tentu kita akan menjauh darinya, atau bahkan menaruhkan stigma negatif kepadanya.

Lebih lanjut, ketika kita menganggap derajat kemuliaan dari segi peran. Jika kita menganggap bahwa peran domestik lebih mulia, maka kita menganggap bahwa peran publik adalah perbuatan yang jelek, begitupun sebaliknya, apabila kita memandang bahwa peran publik lebih mulia, maka tidak ada kata lain selain kata hina, rendah, atau lain sebagainya bagi orang yang menjalankan peran domestik.

Begitu juga ketika kita memandang derajat kemuliaan dari status sosial, kaya, dan miskin misalnya. Apabila kita menyebut bahwa orang yang status sosialnya tinggi lebih mulia, maka apalah daya orang yang miskin, dia akan menjadi orang yang hina, juga rendahan. Pun sebaliknya, ketika kita memandang orang yang miskin lebih mulia, tidak mengejutkan kalau orang kaya akan dikatakan orang yang nista.

Akhirnya, tidak ada standar kemuliaan seorang makhluk yang lebih baik dari standarnya Allah, yakni ketakwaan kepada-Nya (Al-Hujurat:13). Karena, ketika standar kemuliaan itu diukur dengan tingkat ketakwaan, maka kita tidak bisa merendahkan antara yang satu dengan yang lainnya, sebab, siapa tahu yang kita hina itu lebih mulia daripada kita. Karena, ketakwaan itu yang tahu hanya kita dan Allah, tidak bisa kita menebak-nebak hanya dengan apa yang terlihat dengan kasat mata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun