Menjadi bagian dari sandwich generation memang tidak mudah. Beban psikologis dan materi yang harus ditanggung terasa begitu berat, apalagi ketika semua itu datang di usia muda. Film 1 Kakak 7 Ponakan bercerita tentang Moko, seorang dewasa muda yang tengah bersiap lulus kuliah dan bercita-cita menjadi arsitek---terinspirasi dari kakak iparnya yang juga seorang arsitek sukses. Moko adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ia tinggal bersama kakak dan kakak iparnya yang memiliki empat anak, dan oleh para keponakannya, Moko dipanggil "Kakak." Namun, sebuah peristiwa tak terduga mengubah hidupnya: kakak dan kakak iparnya meninggal dunia, meninggalkan keempat anak mereka dalam tanggung jawab Moko.
Sejak saat itu, Moko harus merawat, mengasuh, dan memenuhi kebutuhan dasar keponakan-keponakannya, termasuk yang masih bayi. Ia harus berjuang seorang diri, menanggung beban ekonomi sekaligus menjadi sosok pengganti orang tua bagi para keponakan. Menjadi bagian dari sandwich generation bukan hanya tentang menanggung beban finansial, tetapi juga tekanan emosional---berpura-pura kuat di hadapan semua orang, bahkan mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri.
Dalam tulisan ini, saya ingin membahas film ini dari sudut pandang arsitektur, kesetaraan gender, dan elemen visual yang menyertainya. Yang menarik, karakter Moko sebagai laki-laki ditampilkan menantang stereotip maskulinitas: ia harus tangguh menghadapi kenyataan, menjadi tulang punggung keluarga, sekaligus merawat anak-anak kecil. Dalam diamnya, ia menanggung dilema dan kebingungan, bahkan mengorbankan perasaan serta kehidupannya demi para keponakan tercinta.
1. Kesetaraan Gender: Peran Laki-laki dalam Pengasuhan
Dalam banyak film, sosok pengasuh anak seringkali ditampilkan sebagai ibu atau kakak perempuan---peran yang identik dengan perempuan. Namun dalam 1 Kakak 7 Ponakan, kita melihat sesuatu yang berbeda. Moko, seorang laki-laki muda, berjuang sendirian menjadi tulang punggung sekaligus pengganti orangtua bagi keponakan-keponakannya. Ia tampil sebagai father figure bukan karena status, tetapi karena rasa tanggung jawab dan cinta yang besar.
Moko memikirkan kebutuhan rumah tangga, menyuapi anak, memasak, bahkan mengganti popok---aktivitas yang selama ini sering dianggap bukan "pekerjaan laki-laki." Kehadirannya menantang stereotip maskulinitas yang selama ini dikaitkan dengan otot dan kekuasaan. Film ini menyajikan bentuk maskulinitas baru: bahwa merawat, memasak, dan mengasuh anak bukan hanya tanggung jawab perempuan, melainkan life skill dasar yang seharusnya dimiliki oleh semua orang, terlepas dari gender. Dalam masyarakat Indonesia yang masih lekat dengan sistem patriarki, penggambaran seperti ini penting untuk menggeser cara pandang bahwa pengasuhan adalah tanggung jawab bersama, bukan beban satu pihak.
Moko adalah potret laki-laki yang tidak hanya hadir, tetapi hadir sepenuhnya---mengisi peran yang mungkin tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, namun ia jalani dengan ketulusan yang tulus dan diam-diam mengubah persepsi kita tentang peran dan tanggung jawab.
2. Arsitektur dan Ruang: Rumah yang Berubah Fungsi
Jika dilihat dari sisi arsitektur, rumah dalam film ini bukan sekadar latar tempat tinggal. Ia hadir sebagai ruang yang memiliki cerita dan jiwa. Ruang itu menjadi hidup saat seluruh keluarga berkumpul, namun terasa hampa ketika kakak dan kakak ipar Moko meninggal dunia. Setiap sudut rumah seakan menjadi saksi bisu perjuangan Moko dalam membesarkan keponakan-keponakannya.
Awalnya, rumah tersebut mungkin dirancang untuk keluarga inti---ayah, ibu, dan anak. Namun seiring perubahan kondisi, rumah itu bertransformasi menjadi ruang pengasuhan kolektif di bawah satu sosok: sang adik, yang kini menjadi figur orang tua. Dapur menjadi tempat Moko mengekspresikan kepedulian, kamar tidur menjadi ruang kontemplasi, sementara ruang keluarga berubah fungsi menjadi ruang pendidikan informal sekaligus pelipur lara.
Dalam arsitektur, transformasi ruang seperti ini mencerminkan bahwa rumah tidak hanya bicara soal bentuk fisik, tetapi juga tentang makna dan fungsi yang terus berkembang mengikuti dinamika kehidupan penghuninya.
 Rumah dalam film ini bukan hanya wadah, tetapi narasi diam---yang berbicara lewat keheningan, kesunyian, dan rutinitas baru yang lahir dari kehilangan.
3. Elemen Visual: Warna, Framing, dan Atmosfer Emosional
Secara visual, film ini menawarkan palet warna yang hangat namun tidak berlebihan. Nuansa earthy dan lighting natural menambah kesan "rumah" yang dekat dengan kenyataan sehari-hari. Framing sering kali menempatkan Moko dalam ruang yang sempit, atau dikelilingi anak-anak, seakan menggambarkan tekanan dan keterbatasan ruang geraknya---baik secara fisik maupun emosional. Namun justru dari keterbatasan inilah muncul makna mendalam: ruang yang padat diisi cinta, kebisingan yang jadi pengingat bahwa ia tidak sendiri. Mise-en-scne film ini cukup sederhana, namun kuat dalam menyampaikan atmosfer emosi---baik saat kelelahan, kebingungan, maupun momen keintiman yang tak terucapkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI