Mohon tunggu...
Rika Triyunia
Rika Triyunia Mohon Tunggu... Fotografer | Freelancer

Menulis adalah cara saya mengungkapkan isi kepala dan hati. Bagi saya, menulis, memotret, dan film adalah tiga cara untuk meraba kehidupan—lewat kata, cahaya, dan narasi visual. Berbekal latar belakang arsitektur serta ketertarikan pada psikologi, perfilman, dan isu kesetaraan, saya mencoba merekam cerita-cerita kecil yang sering terlewatkan. Di Kompasiana, saya ingin berbagi tentang ruang, relasi, dan makna yang tersembunyi di balik keseharian.

Selanjutnya

Tutup

Film

Peran Gender dan Makna Rumah dalam Film 1 Kakak 7 Ponakan

26 Juli 2025   12:00 Diperbarui: 26 Juli 2025   10:54 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film 1 Kakak 7 Ponakan Sumber: IMDb

Jika dilihat dari sisi arsitektur, rumah dalam film ini bukan sekadar latar tempat tinggal. Ia hadir sebagai ruang yang memiliki cerita dan jiwa. Ruang itu menjadi hidup saat seluruh keluarga berkumpul, namun terasa hampa ketika kakak dan kakak ipar Moko meninggal dunia. Setiap sudut rumah seakan menjadi saksi bisu perjuangan Moko dalam membesarkan keponakan-keponakannya.

Awalnya, rumah tersebut mungkin dirancang untuk keluarga inti---ayah, ibu, dan anak. Namun seiring perubahan kondisi, rumah itu bertransformasi menjadi ruang pengasuhan kolektif di bawah satu sosok: sang adik, yang kini menjadi figur orang tua. Dapur menjadi tempat Moko mengekspresikan kepedulian, kamar tidur menjadi ruang kontemplasi, sementara ruang keluarga berubah fungsi menjadi ruang pendidikan informal sekaligus pelipur lara.

Dalam arsitektur, transformasi ruang seperti ini mencerminkan bahwa rumah tidak hanya bicara soal bentuk fisik, tetapi juga tentang makna dan fungsi yang terus berkembang mengikuti dinamika kehidupan penghuninya.

 Rumah dalam film ini bukan hanya wadah, tetapi narasi diam---yang berbicara lewat keheningan, kesunyian, dan rutinitas baru yang lahir dari kehilangan.

3. Elemen Visual: Warna, Framing, dan Atmosfer Emosional

Secara visual, film ini menawarkan palet warna yang hangat namun tidak berlebihan. Nuansa earthy dan lighting natural menambah kesan "rumah" yang dekat dengan kenyataan sehari-hari. Framing sering kali menempatkan Moko dalam ruang yang sempit, atau dikelilingi anak-anak, seakan menggambarkan tekanan dan keterbatasan ruang geraknya---baik secara fisik maupun emosional. Namun justru dari keterbatasan inilah muncul makna mendalam: ruang yang padat diisi cinta, kebisingan yang jadi pengingat bahwa ia tidak sendiri. Mise-en-scne film ini cukup sederhana, namun kuat dalam menyampaikan atmosfer emosi---baik saat kelelahan, kebingungan, maupun momen keintiman yang tak terucapkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun