Mohon tunggu...
Rika Oktaviani
Rika Oktaviani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

ç'est la vie

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dampak Negatif Pernikahan Usia Dini terhadap Kesehatan Remaja

4 April 2022   19:00 Diperbarui: 7 April 2022   08:52 6754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://cartoonmovement.com/cartoon/early-marriage-art-16

Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia pubertas antara 10-19 tahun dengan orang dewasa atau seusianya tetapi memiliki faktor lain yang membuat mereka tidak siap untuk menyetujui pernikahan, seperti tingkat perkembangan fisik, emosional, seksual, psikososial, serta kurangnya informasi mengenai pilihan hidup seseorang (WHO, 2016). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat peningkatan sebesar 0,08% pada tahun 2021 terhadap proporsi perempuan yang sudah menikah sebelum usia 15 tahun dan sebelum usia 18 tahun (BPS, 2021). Sehingga dalam hal ini Indonesia menempati peringkat ke-37 di dunia dan menempati urutan ke 2 terbesar di ASEAN karena tingginya angka pernikahan dini (Hakiki et al., 2020).

Mengaitkan dengan kondisi pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak tahun 2019, sebelum pandemi diperkirakan lebih dari 100 juta anak perempuan akan menikah sebelum usia 18 tahun dalam satu dekade berikutnya. Saat ini, lebih dari 10 juta anak perempuan berisiko menjadi pengantin akibat pandemi. Kejadian ini menjadi salah satu tujuan utama dari Sustainable Development Goals (SDG) yang menyerukan tindakan global untuk mengakhiri pernikahan usia dini pada tahun 2030 (UNICEF, 2021). Sebagai informasi tambahan, SDG merupakan sebuah renaca aksi global yang disepakati oleh para pimpinan di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang bertujuan dalam mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi lingkungan. SDG meliputi 17 tujuan dari 169 target yang diharapkan dapat tercapai di tahun 2030 (Union, 2017).

Peningkatan kejadian pernikahan usia dini yang menjadi tren dalam masa pandemi berhubungan dengan terjadinya perubahan kondisi yang drastis yang mengharuskan orang tua harus ikut serta dalam membantu proses pembelajaran sang anak dan perlu menyiapkan gadget atau laptop sebagai media pembelajaran. Kondisi ini menyebabkan beberapa orang tua merasa terbebani ditambah dengan adanya penurunan ekonomi keluarga sehingga menyebabkan beberapa orang tua memilih anaknya untuk dinikahkan dengan tujuan dapat memindahkan beban tersebut kepada orang lain (Andina, 2021). Pernyataan tersebut didukung dari penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa alasan seorang remaja menikah di usia dini adalah salah satunya dikarenakan faktor ekonomi keluarga yang sulit sehingga mencari jalan keluarnya dengan cara menikah supaya dapat meringankan beban orang tua (Afriani & Mufdlilah, 2016).

Bagi sebagian remaja mungkin pernikahan merupakan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya atau dianggap dapat menyelesaikan permasalahan yang dialaminya. Namun, nyatanya justru dapat memberikan berbagai dampak negatif baik terhadap fisik terutama kesehatan reproduksi dan kesehatan psikologis remaja yang sudah dibuktikan dari berbagai penelitian.

Pernikahan di usia dini rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi seperti dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada saat persalinan dan nifas, melahirkan bayi prematur dan berat bayi lahir rendah serta mudah mengalami stres. Kehamilan di usia remaja kemungkinan meningkatkan risiko munculnya masalah kesehatan pada wanita dan bayi. Hal ini disebabkan karena remaja sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang mana tubuh belum siap untuk hamil dan melahirkan (Natalia et al., 2021).

Secara biologis pada masa remaja, alat reproduksi wanita masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk bereproduksi walaupun fisik dalam keadaan sehat, hal tersebutlah yang tidak diketahui oleh remaja-remaja yang melakukan pernikahan di usia dini sedangkan hal tersebut sangat membahayakan bagi ibu dan bayi dikarenakan fungsi reproduksi yang belum siap untuk hamil dan melahirkan. Di mana dampak kehamilan dibawah usia 19 tahun beresiko pada kematian, terjadinya perdarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur. Sementara kualitas anak yang dihasilkannya: Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) sangat tinggi, risiko melahirkan anak cacat, serta memiliki kemungkinan 5- 30 kali besar risiko bayi meninggal (Sari et al., 2020). Kemudian, dampak lain dari menikah di usia muda atau dibawah 20 tahun juga berisiko mencetuskan kanker serviks uteri, dimana semakin muda umur pertama kali melakukan hubungan seksual, maka semakin tinggi risiko dapat terkena kanker serviks uteri (Sadewa & Iskandar, 2014). Hal ini diperkuat oleh penelitian terbaru dimana semakin dini usia seorang perempuan melakukan hubungan seksual, maka semakin tinggi risiko terkena kanker serviks uteri (Ramadhaningtyas & Tenggara, 2020).

Dampak pernikahan dini terhadap kesehatan mental remaja berupa terjadinya depresi, kecemasan, bahkan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Sezgin & Punamäki, 2020). PTSD merupakan suatu pengalaman dimana seseorang mengalami peristiwa traumatis yang menyebabkan gangguan pada keutuhan dirinya sehingga membuat individu merasa ketakutan, tidak berdaya, dan trauma (Astuti et al., 2018). PTSD sangat mungkin terjadi pada remaja yang menikah di usianya, dikarenakan rentan terjadinya kekerasan yang berujung pada perceraian dikarenakan pola pikir atau emosi yang masih belum stabil dan matang (Ningsih et al., 2021). Dampak lain dari terjadinya pernikahan dini menyebabkan remaja perempuan lebih sering menemukan dirinya dalam keadaan tertekan karena merasa kehilangan masa remajanya, baik dalam bermain dengan teman seusianya maupun mencari jati diri. Tekanan yang didapatkan dapat berupa keharusan untuk bereproduksi di usia muda dan apabila tidak bisa hamil maka pasangan tidak ragu untuk menikah lagi (Kabir et al., 2019).

Dalam konteks pendidikan, pernikahan usia dini dapat memutus akses seorang anak perempuan jika ingin melanjutkan ke jenjang sekolah tinggi, sehingga tinggi kemungkinan mereka akan mengakhiri pendidikannya setelah menikah dan dikemudian hari menyebabkan mereka kesulitan dalam mendapatkan perkerjaan yang layak (Puspasari & Pawitaningtyas, 2020).

Sebagai upaya mendukung program SDG yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka peran orang tua sangatlah berperan dalam hal ini. Dikarenakan dalam beberapa penelitian diteliti bahwa terdapat pengaruh pengetahuan dan sikap orangtua tentang kesehatan reproduksi remaja dengan kejadian pernikahan dini. Di mana semakin tinggi pengetahuan dan semakin positif sikap orangtua tentang kesehatan reproduksi maka akan semakin menurunkan kejadian pernikahan dini (Widiyawati & Muthoharoh, 2020). Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan seorang ibu berhubungan dengan pengetahuan dampak pernikahan dini terhadap kesehatan yang berpengaruh terhadap kejadian pernikahan dini sang anak (Harahap et al., 2018).

Selain itu, seorang remaja sudah sewajarnya memiliki sikap yang bertanggung jawab dalam bertindak, mampu merencanakan masa depan yang baik, dan mampu membuat suatu keputusan dengan bijak agar pernikahan dini tidak terjadi dan dapat terhindar dari faktor-faktor yang dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan reproduksinya (Oktavia et al., 2018).

Dari berbagai dampak yang sudah dijelaskan, maka kita sebagai generasi muda yang cerdas harus bisa menjaga kesehatan baik secara fisik maupun psikologis untuk masa depan yang lebih baik. Mari kesampingkan ego atau keinginan untuk mengikuti trend yang manfaatnya belum tentu banyak, melainkan hanya dapat memberikan dampak negatif yang nyata. Sebagai remaja yang aktif kita bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin dengan melakukan banyak hal-hal positif, melanjutkan pendidikan setinggi mungkin, meningkatkan sosialisasi dan relasi, serta mencapai goals atau tujuan yang telah direncanakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun