"Komputernya aja bingung, apalagi soalnya panjang-panjang," ujar Vino, siswi kelas V SD Negeri 1 Sidomulyo.
ANBK dan Realitas di Lapangan
Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) sejak 2021 digadang-gadang sebagai wajah baru evaluasi pendidikan di Indonesia. Tidak lagi sekadar menguji hafalan, ANBK mengukur kemampuan literasi, numerasi, dan karakter siswa.
Namun, kenyataan di lapangan jauh dari mulus. Di SD Negeri 1 Sidomulyo, banyak siswa mengaku kesulitan menghadapi soal ANBK. Guru menuturkan bahwa hambatan terbesar muncul dari soal berbasis bacaan panjang (literasi) dan soal cerita matematika (numerasi).
"Anak-anak cepat lelah membaca teks panjang. Sering berhenti di tengah, lalu asal menjawab," ungkap seorang guru kelas VI setelah simulasi ANBK.
Budaya Baca yang Rapuh
Literasi dalam ANBK bukan sekadar kemampuan mengeja kata, tetapi juga memahami isi bacaan, menafsirkan makna, bahkan mengambil keputusan dari teks. Di sinilah siswa SD Negeri 1 Sidomulyo kerap menemui jalan buntu.
Masalah ini bukan fenomena tunggal. Menurut laporan UNESCO (2020), minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah hanya 1 dari 1.000 orang yang benar-benar gemar membaca buku. Rendahnya budaya baca ini tercermin di sekolah pedesaan, di mana akses terhadap bacaan berkualitas masih terbatas.
Hasil survei internasional pun senada. OECD (2023) melalui tes PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 66 dari 81 negara dalam kompetensi membaca. Data ini menunjukkan bahwa persoalan literasi adalah masalah struktural, bukan hanya soal individu.
Numerasi: Soal Cerita Jadi Momok