Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dikotomi Pribumi dan Nonpribumi

17 Oktober 2017   16:31 Diperbarui: 17 Oktober 2017   23:04 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belum 24 jam sejak beliau dilantik, jagat media sosial sudah gusar dengan pemakaian istilah pribumi (dan juga kolonialisme) dalam pidato politik beliau yang pertama.

Apakah pribumi?

Apakah nonpribumi?

Karena kita orang Indonesia, mari kita merujuk pada acuan berbahasa yang resmi di negara kita yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut KBBI, pribumi berarti penghuni asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan (https://kbbi.web.id/pribumi), sedangkan nonpribumi berarti yang bukan pribumi; yang bukan orang (penduduk) asli suatu negara (https://kbbi.web.id/nonpribumi).

Jika mengacu pada definisi menurut KBBI maka seseorang menjadi pribumi karena konteks tempat asalnya. Definisi ini menjadi tidak jelas jika ada pertanyaan lanjutan seperti: yang dimaksud dengan tempat asal seseorang apakah tempat dia lahir atau dibesarkan? Ya, definisi ini menjadi tidak fleksibel jika ada faktor migrasi manusia sepanjang hidupnya. Seseorang yang berasal dari suku bangsa A, lahir di kota B, besar di kota C, bekerja di kota D, menikah dan tinggal menetap di kota E adalah pribumi menurut konteks suku bangsa A, atau konteks kota B, C, D, atau E? Pendefinisian ini bertambah kompleks jika orang itu menikah dengan orang dari suku bangsa F. Anak-anak mereka menjadi pribumi berdasarkan suku bangsa dan kota apa?

Saya mau menceritakan sedikit pengalaman hidup saya.

Saya berasal dari suku bangsa yang dikenal secara umum sebagai suku Batak. Orang tua saya merantau dari Pematang Siantar ke Yogyakarta dan Bandung untuk pendidikan universitas di awal tahun 80-an. Sedari saya kecil banyak saudara jauh yang datang ke rumah kami dan ada beberapa dari mereka yang menyindir ketidakmurnian darah batak saya. Apa pasal? Ayah saya berasal dari suku Batak Toba sedangkan ibu saya berasal dari suku Batak Simalungun. Bagi orang Batak sendiri, saya tidak murni orang suku Batak Toba atau Batak Simalungun, sedangkan bagi orang di luar suku Batak, suku bangsa saya adalah Batak. Titik. Kebingungan identitas itu sudah ada di hidup saja sejak usia sekolah dasar. Ditambah lagi keberadaan kami di lingkungan yang bertetangga dengan orang-orang dari suku Sunda dan Jawa. Walaupun saya lahir dan besar di Bandung dan saya bisa berbahasa Sunda, identitas diri saya tidak sepenuhnya melebur dengan identitas diri teman-teman sepermainan saya yang berasal dari suku bangsa-suku bangsa lain.

Masalah lain muncul saat saya duduk di sekolah dasar dan berusia sepuluh tahun. Usia ini adalah usia pra-remaja (jaman dulu istilah ABG (Anak Baru Gede) belum terlalu populer) dimana orang-orang mulai mencari gang-nya masing-masing. Anak-anak mulai mencari identitas diri dan kelompok dimana dia diterima dan merasa menjadi bagian dari kelompok itu. Kalau kita kira istilah pribumi/nonpribumi cuma beredar dan relevan di jaman kolonialisme, kita salah besar. Di Bandung di awal tahun 90-an pelabelan pribumi dan nonpribumi itu dilakukan oleh anak-anak. Sejak TK sampai dengan SMP saya menempuh pendidikan di sekolah Kristen dengan mayoritas peserta didik berasal dari keturunan Tionghoa. Waktu saya SMP kelas 3 di tahun 1993, hanya saya satu-satunya orang pribumi di angkatan saya. Apa definisi pribumi di benak anak-anak saat itu? Pribumi adalah orang asli Indonesia,datang dari suku bangsa yang punya tempat asal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara fisik saya sangat berbeda dengan teman-teman seangkatan saya; kulit saya gelap, mata saya tidak sipit, dan rambut saya keriting. Sekilas saja bisa terlihat kalau saya dan mereka berasal dari dua kelompok yang berbeda: pribumi dan nonpribumi, walaupun jika saat itu ada pengelompokan menurut agama, saya berada dalam satu kelompok agama yang sama dengan teman-teman saya.

Menyadari dan menerima bahwa saya orang pribumi di tengah-tengah kelompok nonpribumi bukanlah suatu hal yang mudah. Pertanyaan, sindiran, ejekan terutama karena fisik saya adalah hal biasa yang saya terima selama tiga tahun bersekolah di SMP. Di saat-saat sulit dalam mencari jati diri ini saya pernah berada dalam fase tidak menyukai asal saya yang dari suku Batak. Saya sampai bertengkar dengan ayah saya karena saya ingin berasal dari suku Tionghoa seperti teman-teman saya yang lain. Ayah saya, yang merupakan salah satu tetua marga Tobing di kota Bandung, tentu marah besar. Beliau pun menguliahi saya tentang kebanggaan menjadi orang Batak, tentang asal-muasal nenek moyang, adat-istiadat, dan lain sebagainya. Waktu itu saya tentu saja hanya mendengarkan dengan setengah hati, karena yang jauh lebih penting buat saya saat itu adalah saya punya satu kesamaan dengan teman-teman sebaya saya yang membuat saya bisa diterima dengan lebih mudah oleh mereka.

Tiga tahun di SMP adalah tahun-tahun berat dalam menemukan jati diri saya. Pada tahun terakhir akhirnya saya menemukan teman-teman dan lingkungan yang baik, karena memang di setiap bangsa/suku/agama/latar belakang ada saja orang-orang baik dan orang-orang brengsek. Riska dan Natalia adalah dua teman baik yang mau tahu tentang latar belakang saya yang berbeda jauh dengan mereka. Pada tahun ketiga di SMP, ayah saya menyuruh saya melanjutkan SMA di SMA Negeri. Alasannya adalah supaya saya bisa bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Memang karena saya sekolah di sekolah yang dikelola oleh yayasan, saya bertemu dengan orang-orang itu lagi. Saya tidak memilih SMP yang dipilih oleh hampir semua teman SD saya, tapi saya tahu kalau saya melanjutkan SMA di yayasan yang sama, saya akan bertemu kembali dengan teman-teman dari SD dan SMP. Saya pun menuruti ayah saya, tapi saya sangat gugup. Sepuluh tahun dalam hidup saya, saya bergaul dengan orang-orang dari suku bangsa yang sama dengan perilaku dan sikap yang tipikal. Walaupun secara asal-muasal dan fisik saya berbeda dari teman-teman saya, tapi saya tahu bagaimana berteman dengan mereka. Saya sangat takut tidak bisa punya teman jika bersekolah di sekolah negeri.

Di usia 15 tahun saya mulai bersekolah di sekolah negeri yang siswanya tumpah ruah dari berbagai latar belakang suku bangsa, kota, dan agama yang ada di Indonesia. Dikotomi itu masih ada, tapi kali ini bukan soal pribumi dan nonpribumi, tapi soal agama. Jika ditilik secara fisik, saya masuk dalam kelompok pribumi dan mayoritas dari siswa sekolah itu. Tapi jika ditilik secara agama, saya masuk dalam kelompok agama yang bukan agama mayoritas. Apakah saya pernah berharap saya memeluk agama lain supaya saya bisa lebih diterima oleh lingkungan saya? Tentu saja dan itu wajar karena saya masih remaja yang masih dalam proses mencari jati diri dan tempat saya di tengah-tengah masyarakat di sekitar saya. Tiga tahun di SMA adalah masa dimana saya benar-benar mengerti perbedaan agama dan iman; suatu masa dimana saya menemukan alasan saya hidup dan ke mana saya akan pergi setelah tutup usia. Pelabelan pribumi dan nonpribumi di SMA tidak sekencang saat saya di SMP, tapi saya tahu bahwa pelabelan itu masih ada karena ada teman-teman SMA saya yang berasal dari suku Tionghoa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun