Bahkan terkadang, guru honorer juga ada yang berasa dari sekolah menengah. Jumlahnya pun terus meningkat tanpa kontrol. Bahkan setelah sebagian diangkat jadi PNS, jumlah honorer di bidang pendidikan terus meningkat hingga 700 ribu. Belum lagi, masih ada juga masalah pendataan, yang mana, nama guru honorer tercantum, namun orangnya tidak ada.Â
Tentunya hal tersebut menimbulkan dilema saat akan mengangkat mereka jadi PNS. Tidak ada data tentang kualitas dan kompetensi mereka meski sudah bertahun-tahun bekerja, sehingga tes CPNS menjadi patokan umum yang harus dilakukan oleh honorer. Â
Tahun lalu, jumlah honorer yang lulus tidak mencapai target, meskipun tingkat kesulitan pertanyaan dalam soal-soal telah diturunkan. Masalahnya adalah, apakah tes CPNS benar-benar bisa menggambarkan kualitas mereka di lapangan?
Salah seorang guru honorer di Mataram NTB pernah berkata kepada saya, bahwa soal CPNS hanya cocok untuk orang yang baru lulus kuliah. Sementara honorer sudah lama meninggalkan kampus.Â
Saya tidak bisa memastikan akurasi dari pendapat tersebut. Tapi saya mempertanyakan, apakah tes secara nasional bisa dipakai untuk mengukur kemampuan guru honorer di lapangan? Hanya pakar yang dapat menjawab pertanyaan ini.
Perekrutan honorer memang berisiko mendapatkan pekerja dengan kompetensi yang tidak terukur dengan baik. Namun, sampai saat ini, status honorer masih diminati oleh beberapa orang. Alasannya pun beragam, mulai dari karena belum diterima di kantor lain atau memang honorer menjadi pilihan "sambilan" menunggu pendaftaran CPNS dibuka oleh pemerintahan.Â
Dengan kehadiran Nadiem Makarim sebagai  Mendikbud, pendataan akurat ini mestinya dapat diselesaikan. Bukan data soal jumlah honorer dan lokasi mengajar saja, tapi juga informasi tentang kompetensi mereka.Â
Dengan demikian pemerintah bisa bersikap adil untuk menentukan mana honorer yang benar-benar layak untuk mendapatkan penghargaan tanpa harus mempersulit mereka.
Terima kasih, sekian dulu dari saya, Rihad Wiranto.