Mohon tunggu...
Rige Bandayanti
Rige Bandayanti Mohon Tunggu... Guru - Mencerdaskan anak bangsa

Olahraga yang saya suka adalah volly.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Potret Pendidikan dalam Konteks Pembelajaran di Sekolah Sebuah Refleksi

24 Februari 2024   09:10 Diperbarui: 24 Februari 2024   09:16 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

I believe the children are our future

Teach them well and let them live their way

Show them all the beauty they posses inside

Give them a sense of pride 

To make it easier

Let the children's laughter

Remind us how we used to be

(Aku percaya bahwa anak-anak adalah masa depan kita. Ajari mereka dan biarkan mereka hidup dengan cara mereka. Tunjukkan kepada mereka segala kelebihan yang ada dalam diri mereka. Berikan mereka rasa bangga. Untuk membuat segalanya menjadi lebih mudah. Biarkan tawa lepas anak-anak itu mengingatkan kita tentang bagaimana kita semasa kanak-kanak dahulu)

Sepenggal bait lagu "The Greatest Love of All" yang pernah dilantunkan oleh mendiang Whitney Houston ini, menyimpan pesan moral yang sangat patut untuk kita jadikan bahan perenungan. Semua pihak yang terjun di dunia pendidikan, secara teoritis tentu sepakat bahwa anak-anak adalah anak-anak dengan segala keunikan dan kecenderungan yang dimilikinya pada usia pertumbuhannya. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, sehingga dalam proses pendidikannya, ia harus "dipaksa" memasuki alam pikiran orang dewasa.

 Proses pendidikan dalam konteks persekolahan berlangsung berdasarkan landasan falsafah, visi dan paradigma yang dibangun dan dianut oleh para praktisi yang terlibat di dalamnya, khususnya komunikasi guru. Sebagian guru memandang sebuah visi dan paradigma sebagai suatu hal yang sangat esensial sehingga ketika visi dan paradigma kependidikan telah inhern di dalam diri mereka, maka hal tersebut akan termanifestasikan dalam proses pembelajaran secara utuh dan integral. Tentu saja sebuah visi dan paradigma tidaklah tumbuh secara instant. Ia tumbuh dari proses perenungan yang dalam pemikiran yang serius dan fokus, sikap kepedulian yang tinggi dan tak kalah pentingnya, semangat totalitas dan dedikasi yang tinggi. Namun, bagi sebagian guru, hal-hal tersebut di atas tidak lagi terlalu signifikan karena tergilas oleh rutinitas mengajar, tuntutan administrasi dan tuntutan target materi yang harus selesai pada setiap semester.

 Sejenak marilah kita mencermati konsep belajar yang dikemukakan oleh Ernest R. Hilgard dalam bukunya "Theories of Learning": "Learning is the process by which an activity originates or is changed through training procedures (whether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from changes by factors not attributable to training." Dalam definisi tersebut, dikatakan bahwa belajar  adalah proses perubahan perilaku melalui serangkaian prosedur pelatihan/pembelajaran yang dilakukan baik di dalam ruangan atau di lingkungan alam bebas. Jadi, belajar bukanlah sekadar kewajiban untuk menerima sejumlah "paket" pengetahuan yang hanya mengisi ruang "kognisi" semata, melainkan sebuah pengalaman yang melibatkan potensi, emosi, bakat, minat dan aktualisasi diri yang seluruhnya harus bermuara pada perubahan perilaku ke arah yang positif baik terhadap dirinya, orang lain dan alam.

Sistem pendidikan di Indonesia cenderung deskriminatif karena hanya menekankan kecerdasan kognitif dan menyamaratakan kecerdasan anak (Didik, edisi 29 Desember 2008). Pemerhati anak, Seto Mulyadi mengungkapkan hal tersebut dalam  seminar "Berkomunikasi dengan Anak."

Spektrum kecerdasan anak, sebenarnya sangat beragam. Kita pernah mengenal jenis-jenis kecerdasan, di antaranya: kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kenestetik, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan naturalis. Namun, sangat disayangkan jenis-jenis kecerdasan ini belum seluruhnya dapat terakomodasi dalam sistem pendidikan kita. Kalaupun ada lembaga swasta atau sekelompok orang yang memiliki idealisme terhadap pendidikan, mereka lebih memilih untuk menyelenggarakan pendidikan alternatif di luar jalur formal, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendidikan di masa lalu seperti Maria Montessory, Petersen, Miss Helen Parkhurst atau Ivan Illich yang mengecam pola pendidikan klasikal yang menyamaratakan semua siswa untuk diperlakukan sama dan diharapkan mencapai hasil yang sama.

Dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah pada umumnya berbagai kasus dan persoalan seputar pola dan proses belajar mengajar sering kita jumpai, misalnya dari sejumlah siswa yang ada di Sekolah Dasar, terdapat siswa yang belum fasih membaca dan menulis, tetapi memiliki kecerdasan intrapersonal, ada siswa yang apatis, ada siswa yang sulit berkonsentrasi, ada siswa yang lebih asyik menggambar tetapi pada mata pelajaran yang lain mendapat nilai kurang. Perlakuan guru pun sangat relatif. Ada guru yang tidak peduli dengan kondisi individual yang ada karena yang terpenting target materi pembelajaran dalam satu semester telah tercapai; ada guru yang mengajar seperlunya, lalu memberi soal latihan dan pergi meninggalkan kelas tetapi di akhir semester sang guru memberikan nilai-nilai bagus di atas standar minimal nilai ketuntasan. Entah dari mana datangnya angka-angka itu?; ada guru yang lebih peduli dengan potensi individual masing-masing siswa dan melaksanakan proses pembelajaran yang melibatkan bakat dan minat dari siswa-siswinya, tetapi tetap mengakomodasi mata pelajaran yang telah diatur dalam kurikulum sekolah. Guru seperti ini akan mengalami dilema pada saat-saat tertentu karena menerapkan  dua sistem atau lebih tepatnya dua aliran pembelajaran. Hal-hal yang menjadi benang merah antara guru yang satu dengan yang lain bukanlah terletak pada metode atau gaya mengajar semata, melainkan berbagai metode yang luar biasa karena didorong oleh kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan anak didiknya.

Pendidikan karakter menjadi satu hal baru di tengah-tengah dunia pendidikan kita. Padahal jika kita mencermati fungsi guru salah satunya adalah sebagai pembimbing yang tentunya berkorelasi langsung dengan pendidikan etika dan karakter. Di masa lalu Negara Indonesia pernah mencanangkan program: 1) state building; 2) nation character building; 3) economic building. Program pertama adalah penataan wilayah NKRI. Setelah wilayah tertata dengan baik (tentunya secara bertahap) lalu menginjak pada tahapan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan manusia-manusia Indonesia yang memiliki karakter yang luhur dan menjunjung tinggi adat-adat ketimuran yang berpatokan pada ajaran ke-Tuhanan serta menghormati kearifan lokal. Akhirnya jika pembangunan manusia Indonesia ini terus berlangsung maka Indonesia siap membangun infrastruktur ekonomi. Demikian luasnya cakupan term pendidikan jika kita proyeksikan ke tataran yang lebih luas.

Akhirnya kita menyadari bahwa peran guru hanya terbatas penyampai materi maka di era informasi ini peran tersebut sudah banyak digantikan oleh media massa (media elektronik dan cetak). Jaringan internet telah menyediakan ribuan bahkan jutaan informasi bagi siapa saja yang mengaksesnya termasuk siswa-siswa kita, tetapi fungsi guru sebagai teladan dan penyampai nilai-nilai etika dan moralitas tidak dapat digantikan oleh siapapun dan oleh apapun. Kebijaksanaan dan figur kearifan seorang guru juga tidak akan pernah tergantikan karena interaksi antara guru dan siswa melibatkan seluruh potensi dan fungsi-fungsi kemanusiaan secara utuh serta bertujuan untuk bersama-sama mengembangkan kualitas kemanusiaan sesuai dengan proses masing-masing. Profesi guru bukanlah profesi yang dipilih karena terpaksa atau karena prospektif melainkan karena panggilan jiwa dan kesanggupan. Kesanggupan merupakan kehormatan bukan pengorbanan. Kalaupun ada pengorbanan maka pengorbanan itu bernilai keluhuran dan keagungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun