Mohon tunggu...
Rifqi Asha
Rifqi Asha Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Film dan Televisi Universitas Pendidikan Indonesia

Mahasiswa yang berusaha untuk mandiri dan bisa menghasilkan uang sendiri

Selanjutnya

Tutup

Film

Mise en Scene dalam Film Dokumenter 'Pengasuh ODGJ, Pengasih Kehidupan'

12 Januari 2023   06:11 Diperbarui: 12 Januari 2023   06:27 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Kerah Biru: Pengasuh ODGJ, Pengasih Kehidupan

Mise en Scene merupakan ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan seluruh aspek visual yang ada pada saat memproduksi film atau pertunjukan teater. Seperti setting, properti, aktor, kostum yang digunakan, lighting, dan lain-lain. Semua yang muncul di dalam frame merupakan bagian dari mise en scene.

Mise en scene merupakan suatu hal yang penting yang terdapat dalam elemen sinematik yang terdapat dalam film. Hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan agar film yang di produksi dapat memberikan kesan dramatis di setiap alur cerita.

Dalam film dokumenter berjudul ‘Pengasuh ODGJ, Pengasih Kehidupan’ yang dibuat oleh tim asumsi ini menceritakan kakak beradik bernama Suhartono dan adiknya Suharyono. Mereka merupakan adik kakak yang dalam hidupnya mengabdikan dirinya untuk menjadi pengurus serta perawat di Yayasan Jamrud Biru dimana itu merupakan panti sosial disabilitas mental yang berada di kota Bekasi.

Menjadi pengurus serta perawat ODGJ selama lebih dari 20 tahun tidak membuat mereka menyerah dengan keadaan. Mereka tetap melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk tetap memastikan para pasien yang berada di yayasan Jamrud Biru bisa berangsur pulih dengan sakit yang dideritanya.

Film yang dibuat pada pertengahan tahun 2022 ini, telah ditonton lebih dari seratus ribu viewers di channel youtube asumsi.

Disini penulis akan memaparkan berkenaan tentang mise en scene yang ada pada film ini.

Setting

Setting untuk tempat dalam film ini berlokasi di kota Bekasi, tepatnya berada di kelurahan Mustikasari kecamatan Mustika Jaya. Dilihat dari segi tempat sendiri, setting tempat berada di dalam ruangan tertutup yang tidak terlalu besar dimana tempat tersebut menjadi tempat dimana para pasien orang dengan gangguan jiwa direhabilitasi.

Dikarenakan tempatnya sendiri yang tidak terlalu besar dan luas, membuat pengambilan gambar dalam film ini terlihat seperti disitu-situ saja. Yang membedakannya hanya kegiatan atau aktivitas para pasien seperti ketika mereka makan, berdoa, dan mandi.

Kemudian untuk setting tempat dan penataan artistik dimana narasumber memaparkan penjelasannya saya kira sedikit kurang diperhatikan. Pendapat pribadi saya karena mungkin memang ingin memperlihatkan tempat tersebut secara natural seperti apa adanya yang ada di dalam yayasan.

Saran saya, ketika adegan wawancara dengan narasumber, bisa lebih diperhatikan lagi dari segi penataan set baik properti, kostum, dan yang lainnya. Karena dari segi penceritaan sudah cukup baik namun tampilan setting (penataan artistik) tempat ketika pemaparan narasumber terlihat kurang menarik.

Meski penempatan artistiknya sedikit kurang diperhatikan, namun kostum atau pakaian yang dikenakan oleh pemeran dalam film ini terlihat dengan jelas. Dalam film ini terlihat jika perawat dan pasien memiliki kostum yang seragam dengan keterangan tulisan yang ada di bajunya. Itu merupakan suatu hal yang penting karena kita jadi tahu dan bisa membedakan mana pasien dan mana yang bukan pasien.

Lighting

Dari segi pencahayaan sendiri, saya tidak menemukan ciri khas atau sesuatu yang berbeda dari film ini. Terlihat di dalam film ini sepertinya tidak ada penataan khusus untuk lighting kecuali untuk tempat yang dirasa terlihat gelap dan memerlukan cahaya tambahan untuk mendukung keperluan visual.

Saya kira, konsep dari film ini memang ingin memperlihatkan situasi dan kondisinya seperti tampak apa adanya agar terlihat lebih natural. Dikarenakan juga memang tempatnya yang bisa dibilang tidak terlalu besar dan tidak terlalu luas, membuat penataan cahaya sendiri menjadi kurang leluasa. Jadi memang pilihannya tidak terlalu banyak menggunakan cahaya tambahan dari alat dan lebih memanfaatkan sumber cahaya yang ada dari cahaya alami dan lampu yang berada disana agar kesan naturalnya dapat lebih terlihat.

Directing

Penyutradaraan dalam film ini bisa dibilang cukup baik karena sutradara dapat mengarahkan narasumber untuk dapat mengeluarkan semua perasaan yang dia alami dan rasakan. Narasumber disini juga bercerita sampai mereka mengeluarkan emosinya karena melihat, mengalami, merasakan banyak hal, kejadian, serta peristiwa selama mengasuh dan membina ODGJ.

Sutradara disini juga dapat menata visual dengan apa yang dibicarakan oleh narasumber dengan baik, banyak footage yang menunjang serta mendukung sebagai penguatan cerita dalam film ini.

Meskipun memang tidak terlalu banyak pengadeganan yang dibuat, namun kegiatan dan aktivitas yang dilakukan para pasien disana terlihat mencerminkan mereka yang memang sedang mengalami sakit jiwa. Banyak shot yang secara detail memperlihatkan ekspresi dan perilaku para pasien disana.

Terlihat sutradara juga sudah cukup dekat dengan beberapa pasien, bukan hanya narasumber saja. Di akhir film, ada seorang pasien yang membacakan visi misi Yayasan Jamrud Biru dimana sudah pasti itu merupakan hal atau peristiwa yang memang diarahkan secara khusus dalam menambah dramatisasi film.

Namun kurangnya dalam film ini yaitu hasil audio pemaparan dari narasumber yang kurang baik outputnya sehingga suara yang dihasilkan kurang jernih dan terkesan terpendam.

Bloking yang dibuat juga bagi saya dirasa kurang enak dipandang ketika pemaparan narasumber. Khususnya ketika pemaparan yang dilakukan di ruangan dan narasumber duduk di sofa, bloking bisa dilakukan dengan narasumber berada di tengah, bukan dipinggir.

Pemilihan subjek yang hanya ada 2 orang pun saya rasa kurang karena pemaparan bisa ditambah dari pegawai atau pengurus lain yang mengabdikan untuk bekerja disana sebagai penguatan argumen dan isi cerita film itu sendiri.

Film dokumenter memang dianggap sebagai sebuah kejadian, perisitwa, dan momen yang kemudian diabadikan dan disusun sedemikian rupa sehingga akhirnya dapat menjadi sebuah cerita. Namun, bukan berarti ketika membuat sebuah film dokumenter kemudian hanya menangkap momen apa adanya tanpa ada konsep terlebih dahulu. Alangkah baiknya, segala sesuatu dan aspek dalam pembuatannya dibuat konsep agar nantinya hasil yang diinginkan dapat sesuai yang diharapkan.

Mise en scene lah salah satu faktor pendukung dan penunjangnya. Apabila kita dapat menerapkan dan memanfaatkan mise en scene dalam sebuah film sekalipun itu film dokumenter, saya rasa film yang dihasilkan akan lebih terlihat baik serta pesan dan isi cerita dari film tersebut dapat tersampaikan dengan baik tanpa rasa bosan ketika menontonnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun