Mohon tunggu...
Rifky Julio
Rifky Julio Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate (Baca: Penggangguran)

Sekedar menulis apa yang ingin ditulis. Antropologi | Anime | Daily Life | Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Shinto dan Kepercayaan Lainnya di Jepang

21 Maret 2021   07:45 Diperbarui: 23 Maret 2021   17:51 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbang Torii sebagai salah satu penanda kuil Shinto (Foto oleh Casia Charlie via pexels.com)

Upacara peribadatan yang dilakukan oleh penganut kepercayaan Shinto biasanya langsung berhubungan dengan alam seperti Amaterasu Omikami yang dilakukan untuk memuja dewi Matahari agar mendapat kemakmuran dan kesejahteraan dalam bidang pertanian. Upacara tersebut biasa dilakukan di atas gunung Fuji pada Bulan Juli dan Agustus.

Penganut kepercayaan Shinto juga sering memperingati perayaan yang berkenaan dengan pusaka luhur, pengudusan, pengusiran roh jahat, serta puncak-puncak perayaan di tahun baru. Selain itu, kepercayaan Shinto juga mengsakralkan seorang Kaisar. Setiap Kaisar muncul, masyarakat Jepang akan menundukkan diri sebagai tanda penghormatan. Namun, setelah berakhirnya Perang Dunia kedua masyarakat Jepang sudah tidak berpandangan seperti itu lagi. Mereka mulai menganggap bahwa Kaisar adalah manusia biasa yang seperti mereka.

Kepercayaan Lain

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di Jepang terdapat kepercayaan lain seperti Buddha, Kristen Katolik, dan lainnya. Secara harfiah, Buddha adalah kepercayaan atau agama utama yang kedua dari masyarakat Jepang.

Tiba di Jepang sebelum abad ke-6, penyebarannya justru baru menguat setelahnya. Saking kuatnya pengaruh Buddha, kepercayaan Shinto pun hampir terpinggirkan. Sampai pada tahun 1396 M, kepercayaan Shinto diangkat oleh raja menjadi agama negara. Alasannya adalah supaya raja tidak kehilangan kekuasaannya terhadap rakyatnya. Sejak saat itu Shinto dan Buddha mulai bersaing.

Persaingan semakin kontras terjadi diantara pendeta Shinto dengan pendeta Buddha. Tapi pada akhirnya kedua belah pihak dapat berdamai karena para pendeta Shinto sepakat untuk memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem kepercayaan Shinto.

Namun yang terjadi justru menjadi negatif bagi Shinto karena keaslian unsur agamanya mulai terkikis. Agama Buddha mendominasi unsur-unsur kepercayaan Shinto, seperti pengadaan patung-patung dewa di kuil Shinto dan berubahnya arsitektur bangunan kuil Shinto menjadi lebih berwarna dari yang sebelumnya sangat sederhana.

Patung Buddha di Kuil Nanzoin, Sasaguri, Fukuoka (Foto oleh Sayumi via pinterest.cl)
Patung Buddha di Kuil Nanzoin, Sasaguri, Fukuoka (Foto oleh Sayumi via pinterest.cl)

Agama selajutnya adalah Kristen Katolik. Meski jumlahnya tidak sebanyak Buddha, tetapi implikasi pada kehidupan masyarakat Jepang cukup terlihat. Contohnya pada perayaan Natal yang tidak hanya dirayakan oleh umat kristiani di Jepang, tapi juga oleh penganut agama lain. Hal itu juga merupakan bukti bahwa orang-orang Jepang sebenarnya tidak terlalu mementingkan agama dan bisa hidup bebas tanpa terikat suatu keyakinan tertentu.

Kristen Katolik awalnya muncul pada abad ke-15 saat para misonaris dari Portugis dan Spanyol berlabuh di Jepang. Agama ini ternyata berkembang pesat dalam waktu singkat terutama pada kalangan militer yang dilatarbelakangi oleh urusan politik dan perang yang menggunakan budaya barat.

Lalu seabad kemudian agama ini menuai protes dan penolakan dari rakyat Jepang. Adanya unsur monotheisme dan juga karena peraturan yang berbeda dari cara hidup mereka yang bersifat duniawi menjadi faktor penyebabnya.

Pada dasarnya masyarakat Jepang memang lebih mudah menerima kepercayaan dengan banyak dewa (politheisme) karena ajaran Shinto yang mengutamakan kesejahteraan kelompok dibanding individu. Meski begitu, agama Kristen Katolik ini masih tetap eksis hingga sekarang dan rata-rata dianut oleh masyarakat perkotaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun