Mohon tunggu...
Rifki Sya'bani
Rifki Sya'bani Mohon Tunggu... -

Transmission Telcom Engineer (katanya), traveler (sukanya), cyclist (hampir tiap ke kantor) , and book lover. \r\n\r\nhttp://www.nulisbuku.com/books/view/40-hari \r\n\r\nhttp://abuziyad.multiply.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kultwit: Mudik (Kembali ke Udik)

29 Agustus 2011   03:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:23 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap lebaran selalu kita dimeriahkan dengan suasana mudik. Mudik kembali ke udik. Kembali ke asal dimana kita bermula.

Mudik memberikan kesempatan kita untuk menemukan kembali momentum serta kesempatan untuk membangun kepeduliaan dan sambung rasa yang mungkin sekali telah tercerai-berai. Setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tenggelam dalam rutinitas kehidupan kota dan industri yang kadang kala telah mengikis rasa, norma dan kesadaran kita pada sense of roots yang kita miliki. Dari mana kita berasal, bagaimana kita kemudian bisa menjadi sebesar ini. Inilah momen penting kita bisa berbagi cinta. Menjadi ajang yang sempurna sebagai sarana revitalisasi norma.

Kenapa saat lebaran? Mungkin ini sudah semacam kebiasaan yang mentradisi. Masyarakat luas pun mengamininya. Mudik sebenarnya bisa kapan saja. Namun di negeri super ini, mudik saat lebaran adalah mudik massal, dimana orang serentak sadar bahwa mereka suatu saat memang harus pulang kembali ke tempat asal—entah ribuan kilo terpisah, entah dari sudut negeri atau dunia mana ia kini tinggal maka pulang itu adalah sesuatu yang patut senantiasa dirindu. Hingga mudik pun menjadi urusan maha penting bagi kementrian transportasi, pengurus jalan raya dan atau sang presiden sekalipun.

Jadi Nggak salah memang, kalau kesempatan satu tahun sekali ini kemudian dimanfaatkan untuk pulang kembali, tidak hanya berjumpa dan berkhidmat takzim pada ayah-bunda tercinta namun juga bisa bercengkrama dengan jejak-jejak masa kanak, jejak-jejak kelucuan dan keluguan kita. Berjumpa dengan kawan dan sahabat lama, kaum kerabat yang lain dimana mereka pun mudik berkumpul dalam satu ikatan keluarga. Inilah obat kerinduan kita pada sebentuk rumah tempat pulang, tempat kembali dimana dulu hati dan jiwa pernah tumbuh dalam naungan cinta ataupun dalam kenangan yang tak selalu indah namun tak bisa kita lupa untuk menjadi rekam jejak kehidupan itu sendiri.

Dan walau kini menjadi tradisi, sungguh salah ketika kita memaknainya sebagai sebuah tradisi saja. Sebuah kebiasaan yang melatah atau menular.

Begitulah, kerinduan untuk pulang—mudik memang tak bisa dipungkiri. Namun tahun ini sepertinya kami sekeluarga harus menggeser momentum mudik itu sedikit ke kanan. Melampaui 1 syawal. Tapi tidak apa, setidaknya tulisan ini semoga menjadi penguat bagi kami pada substansi mengapa kita harus mudik.

Berikut ini beberapa kutipan celoteh saya di laman twitter:

#Mudik? Kembali ke udik. Kembali ke asal. Mengingat awal bermula. Ke tempat diri dibuai hingga beranjak dewasa. Bukan untuk ke”aku”an apalagi sekedar tradisi.

#mudik menjadi bagian mengokohkan kembali ikatan kekerabatan, persaudaraan dan langgam kenangan masa kanak yang menyegarkan

#mudik juga untuk memuliakan ibunda mengutamakan ayahanda atas segala cintanya, bersimpuh sadar bahwa diri tak bisa sebesar ini tanpa mereka

#mudik menjadi saluran mengalirnya potensi ekonomi dari kota kembali ke desa, bukan transformasi kearifan desa menjadi keegoisan kota

Tapi #mudik bukan ajang pamer kemajuan materi yang mematikan ikatan hati. Bukan saluran jumawa berbuah angkuh yang membangkitkan dengki

Tapi #mudik tdk harus saat lebaran, seperti pula tak #mudik bukan berarti tidak bakti pd orang tua

Yang salah jika #mudik menjadi parade konsumerisme, ke"aku"an yg mencelaka dan pembunuhan massal di jalan raya krn lalai tak disiplin

#mudik sederhananya adalah pulang ke “rumah” merasakan jejak diri di rumah kita yang dulu, rumah yang telah menjadi ruang tumbuh bagi hati

Itulah mengapa orang rela macet berjam-jam, menghabiskan juta demi juta rupiah, liter demi liter BBM karena #mudik adalah kembali ke tempat ketentraman, dimana hati dan jiwa pernah dibuai dalam naungan cinta

Ketika #mudik kita kembali ke rumah dimana kita mengikat diri pd tatanan keluarga, silsilah nasab, pertalian darah dan tentu tanggung jawab

Jangan sampai #mudik hanya sampai pd lelah dan habis uang kalau sekedar ingin "narsis" dan "eksis" apalagi kalo cuma "lebay"

Dengan #mudik kita bisa punya kesempatan lebih untuk "berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak" (Q.S. Al Ahqaf:15)

#mudik itu menyentakkan kita untuk sadar tentang rumah asal kita juga rumah yg menjadi wajah kita, tentang tanggung jawab dan juga harapan

Ternyata #mudik bukan hanya pulang ke "rumah" namun juga mengobati rindu pd lingkungan, sekolah, teman bermain atau kisah lucu lugu yg lalu

Kadang pula kita akan menemukan jejak daya hidup kita, jejak keriangan dan kenakalan kita saat kecil pd saat #mudik ke rumah

Menatap wajah orang tua mengusap tangan dan mengecupnya saat #mudik ke rumah membawa selaksa makna seperti dulu setiap mau berangkat sekolah

waktu bergulir cepat, dulu kita hanya ikut saja saat orang tua #mudik. kini peran berganti. Dan putaran peran ini akan dirasa juga kelak.

Maka #mudik memang tak bersoal tentang sekedar pulang kampung atau pulang kota. Ada banyak spektrum kehidupan yg bisa kita cermati indahnya

Dan the last…

Jika tak #mudik ke rumah asal sekarang, jangan sedih, karena home is where the heart is. and heart belongs to each other-where ever we are :)


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun