Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pada Mata, Hukum Matematika seperti Buta

4 Juni 2011   09:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:53 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dahulu pernah seseorang berkata bahwa jika satu ditambah satu tidaklah mesti menjadi dua. Lalu saya berpikir pusing, kok bisa ya. Tapi itulah yang terjadi, ketika -1 ditambah +1 tidak sama dengan nol. Itulah yang dialami mereka-mereka yang sudah menampakkan faktor 'U', seperti saya ini. Karena pada mata, hukum matematika seperti buta - tidak bermakna.

Sudah lama saya berkaca mata. Kaca mata minus satu, yang berkembang dari minus 0.25. Kacamata yang membantu memperjelas tulisan-tulisan dan gambar yang berada di kejauhan. Kaca mata yang terkadang juga bisa dipakai untuk menambah pede - karena sering tanpa sadar dipersepsikan 'nambah ganteng' atau 'biar kelihatan pinter dikit'. Sampai akhirnya saya dikunjungi si 'faktor U' itu. Ya, usia yang merambat menua dengan salah satu efeknya berupa kesulitan membaca dekat. Dan bertambahlah nilai mata saya menjadi plus 1.

Berhubung saya adalah orang yang suka berpikir sederhana, lalu diasumsikanlah adanya +1 itu bisa menetralisir -1 yang sudah lama saya punyai. Logika berhitung standar. Susah baca jauh digabung susah baca dekat, kan logisnya bisa jadi sembuh? Tapi kawan, logika matematika itu sama sekali tidak berlaku dalam salah satu segmen kehidupan kita. Positif satu ternyata berdiri berdampingan dengan negatif satu, tanpa saling mempengaruhi, tanpa saling menghilangkan. Mereka seia sekata - seperti kata Stevie Wonder, ebony dan ivory hidup dalam harmoni - dalam memperingatkan anak manusia yang tidak tahu diri ini karena masih merasa ganteng sendiri. Peringatan bahwa 'itulah Rifki, kenapa kamu harus menjaga kesehatan mata. Mata normal itu adalah rizki besar, tapi kamu tidak mempedulikannya'.

Dan inilah konsekuensi masa beranjak tua.

Dan sekarang, dua pilihan atau lebih berada di hadapanku, dan semuanya masih terasa mengecilkanku. Pilihan pertama: memakai kacamata dua lensa - jadinya seperti memakai kacamata kepunyaan bapakku, bergagang coklat, dan terlihat garis pemisah dua lensa itu. Pilihan kedua: tetap memakai kacamata jauh dengan konsekuensi membaca dekat seperti kakek-kakek - menjauhkan objek baca dari mata, atau menjadi seorang yang lucu dengan melepas kacamata dan membiarkannya menempel di jidat - seperti yang dilakukan seorang penumpang kereta Sudirman yang saya suka komentarin dalam hati (kualat kali ni). Atau seperti yang beberapa hari ini saya lakukan: melepas sama sekali kacamata, dengan konsekuensi ........ peniiiiiing.

Kawan. Adakalanya alam memperingatkan kita akan makin dekatnya kita dengan kematian. Lalu, sudahkah kita memahami dan memetik pelajaran dari kehidupan ini? Hikmah dari tulisan ini adalah bersyukurlah kita masih diberikan panca indera yang lengkap. Kacamata negatif dan positif juga mengingatkan saya bahwa saya masih diberikan panca indera penglihat, sementara saudara kita ada yang hidup dalam kegelapan selamanya. Jangan abaikan kesehatan mata. Dan ingatlah kita akan syukur. Dan ingatlah juga bahwa kita akan menjadi tua, menjadi tua adalah fitrah. Dan biarkanlah fitrah saya sebagai cowok ganteng cukup di benak saja...... GUBRAKS

Cag, 30 Mei 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun