Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bahkan Pre-Kompasianival pun membikin hidup lebih berarti

19 November 2012   15:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dilema menyergap saat saya saat akan berangkat ke Kompasianival 2012. Dilema antara dua pilihan: pergi menyetir mobil atau naik kendaraan umum? Nyetir sendiri: nyaman, gak keringatan, cuman macet gak ketulungan. Kendaraan umum: lebih cepat, tapi gak nyaman. Akhirnya demi menghemat waktu, saya ambil pilihan kedua.

Perjalanan dibuka dengan diantar tukang ojek di komplek ke stasiun kereta selama 15 menitan. Dalam waktu sependek itu, kami berkomunikasi, baik itu searah atau dua arah:

 “Emang gak libur Pak?” “Iya, sekarang sudah gak boleh lagi ada pasar kaget Pak di komplek. Padahal itu kan lumayan bisa membantu tetangga-tetangga saya yang berdagang serabutan” “Anak saya tiga, yang kecil baru lahir tiga bulan lalu. Alhamdulillah, rejeki mah gak ke mana?”

Percakapan-percakapan seperti itu bagi saya sangat berarti karena hal itu bisa mempertajam sisi manusiawi-sosial saya. Saya jadi belajar bahwa di balik sosok luar yang cenderung kasar yang sering dialamatkan kepada tukang ojek, tersimpan sebuah kesopanan, ketulusan memberi informasi, keberanian mengemukakan pendapat dan keikhlasan dalam kehidupan.

Tiba-tiba abang ojek membelokan kendataannya dan melewati jalan tikus. Selain demi menghindari kemacetan parah di pertigaan, seperti pilihan itu diambil unuk menghindari tumpahan emosi melihat pengguna jalan yang tanpa aturan. Jalan tikus itu adalah jalan kompleks kecil atau gang-gang kecil perkampungan. Sesekali saya melewati tanah lapang yang kosong, karena becek bekas hujan semalam. Bau rumput terinjak masih bisa tercium di saat mentari  Tangerang Selatan masih bercengkerama dengan awan di pukul sembilan. Bau tanah – termasuk tanah yang menimbun sawah-sawah untuk area kluster ekslusif baru  – juga masih kentara. Di beberapa pinggir gang, bunga-bunga kecil warna-warni muncul. Bunga yang amat sangat biasa, namun warna-warni yang berani justru memberi asri lingkungan yang tidak terawat. Di gang-gang sempit itu pula saya banyak melihat masyarakat kelas bawah dengan kehidupannya yang berat, tetapi tetap dengan wajah tegarnya – termasuk senyumnya ketika mengejar anaknya yang bugil untuk mandi.

Keputusan abang ojek itu telah berhasil “memaksa” saya berkomunikasi dengan lingkungan dan membuka mata terhadap realitas lingkungan berupa kesegaran dan keindahan  yang masih tersisa dengan derasnya tuntutan modernitas serta kerasnya kehidupan.

Turun di Stasiun kereta, saya disambut anak penyemir sepatu. Ada tiga anak yang sedang berkumpul, bercengkerama , tertawa dan berselisih, sambil menunggu konsumen. Konsumen yang hanya memberi dua ribu perak saja untuk jasa penyemirannya. Di sekelilingnya, para tukang ojeg sibuk menawari mereka yang baru turun dari kereta odong-odong – kereta Rangkas yang penuh sesak. Memang seperti terlihat adanya rebutan penumpang, padahal jarang terjadi perselisihan di antara mereka. “Tiap orang punya rejeki masing-masing, Om”, begiutu suatu ketika saya mendapat jawabannya.

Di dekat loket masih berjajar beberapa pedagang makanan kecil. Meski tidak sebanyak hari kerja, pedagang gemblong, dim sum, awug, gorengan sampai dengan sandwich mulai membereskan dagangannya. Wajahnya berwarna, ada yang sumringah, ada yang datar, namun sedikit yang memperlihatkan kekecewaan. “Whatever happened, life must goes on” mungkin begitu di benak mereka.

[caption id="attachment_224595" align="aligncenter" width="300" caption="Suami istri pengamen di Sudimara - suaranya itu loh, keren"][/caption]

Di peron , pengemis-peminta-minta hilir mudik dengan berbagai cara.  Ada nenek tua yang sudah bongkok 90 derajat menadahkan tangan. Nenek usia sama tuanya terlihat duduk lesehan, dengan kaleng sumbangan di depannya.  Seorang ibu menggendong bayinya, juga berkeliling dengan dikuntit anak usia sekolah. Dan di ujung sana, ibu-ibu pengemis gemuk dengan memakai kain sarung batikcukup kumal, santai duduk sambil menghirup rokoknya. Trenyuhkah? Sebalkah? Saatnya jiwa diasah. Waktunya keikhlasan disempurnakan. 

Di sebelah kiri lalu terdengar vokal laki-laki yang lantang mengiringi petikan gitarannya melagukan Tom Jones. Dia berjalan dituntun istrinya, yang sama-sama tuna netra.  Sementara di ujung yang lain, pengamen yang lainnya, yang juga tunanetra dituntun anak gadisnya yang Alhamdulillah bermata awas, melagukan Maher Zain. Di dekatnya, berdiri seorang pemuda tuna netra yang hanya berdiri dengan posisi tangan dan mulut seperti berdoa. Menengok ke sebelah kiri, muncul seorang pemuda berkulit agak putih, memegang tongkat dan speaker menaiki tangga peron. Matanya juga buta. Sepertinya, pemain baru pengamen tuna netra. Masya Allah. Apa ini satu-satunya cara mencari nafkah bagi mereka? Di manakah gerangan peran negara? Ya Allah. Karunialah mereka kebahagiaan dalam kegelapan. Berjalan sedikit ke arah Timur, terlihat seorang bapak-bapak duduk menyender. Diam. Dari satu sisi, bapak itu terlihat berfisik bugar. Namun dari sisi yang lain, barulah kita bisa mengelus dada ketika melihat dia kehilangan hampir separuh wajahnya. Kecacatan yang mungkin tidak dia inginkan. Kecacatan yang menohokku karena tersadar jarang sekali bersyukur atas wajah yang lengkap. Astaghfirullah. Stasiun Sudimara saat itu tidak sepadat hari dan jam kerja. Namun, lihatlah sekeliling. Sepasang suami istri, dikerubungi dua anaknya. Ceria. Seorang beranjak tua menuntun anak kecil, cucunya. Ceria. Dan keceriaan seperti itu pun muncul dari sorot mata anak-anak kecil yang ternyata memenuhi peron hari Sabtu itu. Ya, Sabtu adalah hari piknik. Sabtu, saat ayah dan ibu mengajakku ke Kota. Atau ke Monas. Naek kereta. Atau naik bis. Atau naek bajaj. Sebuah tontonan indah kegembiraan sebuah keluarga. Kereta ekonomi itu kemudian mendekat tanpa suara tut-tut-tut seperti yang sering dilagukan puteriku. Kereta yang mengandalkan AC alamiah itu – baik dalam bentuk angin dari jendela, atau angin dari kipasan koran, lalu berhenti tanpa membuka pintu. Wajar, karena memang pintu tidaklah berfungsi di kereta seperti itu. Kereta itulah yang akan membawa saya ke Kompasianival. Kereta itu yang akan membawa penumpang lain ke tujuannya masing-masing dngan cepat – tanpa macet. Dan kereta itulah yang memberi bonus buat anak-anak pulang jalan-jalan nanti dan jika udara panas menyengat: Wisata Sauna gratis.

[caption id="attachment_224606" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu keluarga penumpang kereta ekonomi: ayah tuna netra, ibu, bayi digendong dan tiga anak kecil-kecil"]

13533385741107553483
13533385741107553483
[/caption]

Masuk ke dalam kereta, sebuah aktivitas baru lalu dimulai. Aktivitas yang menopang kehidupan. Aktivitas kreatif dan improvisatif. Itulah aktivitas jual beli. Dan kereta itu lalu menjelma menjadi pasar berjalan dan panjang. Simak apa yang mereka jual? Kancing cetet. Jepit rambut atau ikat rambut. Bando. Tissue. Masker. Lemang ketan. Permen seribuan berisi tiga-empat. Kaos kaki lima ribuan. Majalah arsitek yang “gak ada basinya”. Kamus bahasa Inggris “10 rebu saja, Arab 35”. Saputangan seribuan atau Selampe “anti Galau”. Di mana mereka mendapatkan keuntungan dengan harga jual seperti itu? Ilmu ekonomi tidak ada yang mengajarkan seperti itu. Namun saya percaya, bagi mereka berjualan tidaklah semata mencari UNTUNG. Mereka lebih mencari BERKAH dari nafkah jerih payah usaha jual beli.

Di Stasiun Kebayoran Lama saya beranjak turun. Turun dari kereta, saya disambut pemandangan menyentuh. Seorang ibu tua, berjalan pelan-pelan. Dia tidak meminta-minta. Dia berjualan, menjajakan jilbab / ciput yang bahkan saya ragu ada perempuan yang mau membelinya. Dia sudah tua. Wajahnya memelas, entah karena kecapaian atau sengsara. Namun dia tetap berjualan. Menyambung hidup, saat mungkin anaknya, cucunya atau keluarganya entah ke mana.

13533384361218969167
13533384361218969167
Keluar dari stasiun, angkot D01 jurusan Ciputat sudah menjemputku dan mengantarkanku ke Gandaria City.

Hari itu, bahkan Pre-Kompasianival pun membikin hidup lebih berarti.

Cag, 19 November 2012

jika saya salah menentukan pilihan, mungkin saat itu saya masih di dalam mobil, menyetir menahan emosi dengan kemacetan dan kesemrawutan tanpa banyak hal yang bisa dipetik

Kompasianer pengendara mobil, mari sekali kali pergunakanlah kendaraan umum agar kita bisa memetik beberapa hikmah kehidupan. Insya Allah memperkaya jiwa

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun