What hurts us is what heals us (Paulo Coelho)
"Kerokan itu menyakitkan. Kejam. Tidak manusiawi". itu kata teman bule. Dia tidak pernah dikerok. Dia hanya melihat garis-garis merah seperti darah di punggung seorang pria tanpa baju saat lewat ke sebuah perkampungan. "Dia mengalami KDRT", mungkin begitu pikirnya.Â
Maklum, dia terlalu banyak menonton film suami dianiaya istri di saluran CSI. Kita bisa memahaminya lah. Yang parah adalah jika ada teman cowok sebangsa sendiri merinding melihat punggung itu dan memekik "Jahap". Bukan parah karena bertingkah seperti artis youknowwho, tetapi dia tidak tahu kearifan lokal bangsanya sendiri.Â
Tidakkah mamanya atau omanya pernah mengalami sensasi kearifan lokal yang menakjubkan itu? Tidak? Ah, sudahlah. TIdak mengapa.
Kerokan adalah sebuah cara pengobatan tradisional di mana sebuah benda tumpul digeser-geser sambil di ditekan pada kulit di bagian badan tertentu yang sakit, dan menimbulkan bekas bilur-bilur merah. Disebut sebagai sebuah kearifan lokal, karena kerokan sudah dilakukan turun temurun dari nenek moyang kita dari berbagai suku bangsa. Termasuk keluargaku.
Dua minggu atau sebulan sekali, saya bisa dikatakan memiliki pekerjaan sampingan. Dukun kerok. Pasiennya? Siapa lagi jika bukan istri sendiri. Bukan istri orang lain. Keluhannya khas ibu rumah tangga. Pegal-pegal, terutama di bagian pinggang dan punggung. Tipikal masuk angin. Namun, terkadang menyebabkan dia kesakitan saking pegalnya.Â
Dan karena dia penganut ajaran "Dikit Dikit Jangan Minum Obat" dari dulu, maka  urusan sakit ringan semacam masuk angin cukuplah dengan dikerok.
Hal ini secara langsung tidak langsung juga memperlihatkan kedekatan ayah, ibu dan si Ade . Waktu sehabis isya mungkin juga ideal, karena biasanya si Ibu bisa jatuh tertidur di penghujung acara kerokan. Mungkin gabungan antara kelelahan beraktivitas rumah tangga di pagi hari dan menikmati sentuhan kasih sayang suaminya melalui jari jemarinya. Ahem
Ritual biasanya tidak dilakukan langsung dengan mengerok punggung. Si Ayah masih punya rasa sayang dong agar istrinya terhindar dari perih akibat tererosinya sebagian kulit. Bayangkan sajalah jika kulit kita terkena kuku istri saat "ritual cakar-cakaran malam hari". (youknowwhatimean). Terasa perih kan. Demikian pula dengan kerokan.Â
Tetapi jika kulit kita dikondisikan untuk siap menerima gesekan benda tumpul (please don't omes), erosi kulit bisa dihindari. Pemanasan harus dilakukan. Jika perlu berilah pelicin. Dan saya lakukan hal itu kepada istri saya melalui pijatan. Jadi saya biasanya memijat dulu terutama di daerah yang dirasakan sakit.
Dan itu cukup mengesalkan buat pemijat yang masih amatir ini. Berbeda dengan balsam. Karena berbentuk padat, maka balsam terasa di tangan lebih lama. Karena si Ibu cukup fanatik dengan minyak kayu putih Cap Lang, maka si Ayah pun menggunakan merek sejenis, yaitu Balsem Lang. Meski berbentuk padat, Balsem Lang tidak lengket di tangan dan tidak bau. Juga hangatnya pas.Â
Karena produk dari perusahaan yang sama, maka si Ibu pun mendapatkan sensasi hangat yang sama, yang telah akrab selama ini. Untuk membuat pijatan lebih lancar, maka saya berikan baby oil sebagai pelicin tambahan secukupnya. Kombinasi Balsem Lang dan Baby Oil beberapa tetes itu pastinya murahbukan? Jauh lebih murah dibanding pergi ke dokter atau membeli obat.
Biasanya, langkah awal memijat ini pun memberikan sensasi tersendiri. Nyaman kepada yang dipijat. Apalagi terjadi kontak kulit dengan kulit. Ada sentuhan kasih. Mesra. Ciee. Tetapi, memang ini biasanya membuat si Ibu ketiduran atau lebih siap buat dikerok yang sering diimajikan menyakitkan.
Jadi, kerokan menyakitkan?
Iya. Lha wong disuntik sakit, dicubit sakit, bahkan patah hati atau tetap menjomblo juga sakit, bukan? Rasa sakit itu tergantung seberapa besar keluhannya, seberapa luas area yang dirasanya dan yang paling penting adalah seberapa bapernya si pasien yang sakit itu.Â
Tidak, karena si Ibu selama ini tidak pernah mengeluh kesakitan tuh. Kuncinya selain diberi pijatan terlebih dahulu adalah cara mengerok pun harus tepat. Saya justru diajari si Ibu bagaimana mengerok yang baik, jalur mana yang memberikan pengaruh besar untuk dikerok, arah mana yang harus dilakukan.Â
Diusahakan jalur yang dikerok itu mengikuti alur tulang rusuk. Jadi miring dari atas ke bawah di daerah yang sakit. Lalu gesekannya pun dilakukan satu arah, dari atas ke bawah. Dan menggeseknya pun jangan terlalu besar tekanannya. Mengerok tidak membuat kulit berdarah, tetapi jika bagian itu sakit, hasil kerokan akan berwarna merah darah menuju hitam. Biasanya si Ibu akan memberitahu jika posisi kerokannya sudah tepat, karena biasanya terasa enak buat yang dikerok. Jadi di sini tercipta komunikasi juga.
Acara mengerok ini pun sekarang turun ke si Ade, anak bungsu. Jika dia masuk angin, kembung, mual dan diare, dia biasanya dipijat dan dikerok. Manjur. Karena setelah itu biasanya dia kentut dengan bau yang manstaf. Atau buang air besar, juga dengan bau yang menyebalkan, Tetapi setelah itu, terlihat sekali jika kondisi si Ade jauh lebih membaik.Â
Tubuhnya terlihat segar. Reaksi yang sama seperti jika si Ibu dikerok: tubuh segar, relaks, hilang stress dan badan ringan serta nyaman. Buktinya, setiap selesai dikerok, si Ibu pasti tidur pulas. Paginya, dia segar sekali. Aaah.
Yang lucu ketika mengerok si Ade adalah melihat reaksinya. Ketika dikerok, si Ade bukannya meringis kesakitan. Dia malah ketawa kegelian. Kenapa bisa? Ya iyalah, tangan si Ayah kapalan dan kasar? Bukan atuh, kan yang mengeroknya juga si Ibu. Itu karena kita memakai alat yang berbeda untuk mengerok si Ibu dan si Ade.
Sementara untuk mengerok si Ibu, biasanya dipakai uang logam. Jika sedang berkunjung ke rumah Enin (nenek), biasanya kita menggunakan uang koin jadul yang disebut benggol. Tetapi kalo sedang di rumah sendiri, kita memakai uang koin biasa. Cuman, koin yang paling cocok dipakai adalah koin yang cukup berat.Â
Contohnya koin seribu edisi dulu yang cukup besar dan berwarna kuning emas dan warna logam. Koin yang sekarang terlalu tipis jadi terkadang terlalu gampang membuat erosi kulit. Karena si Ayah suka mengoleksi uang receh dari luar negeri, maka terkadang dipakai juga uang dua puluh sen  Australia yang cukup berat sebagai alat kerok.
Nah, sebagai cowok, si Ayah biasanya lebih suka dibekam dibanding dikerok. Sebelum dibekam pun ada "kerokan" juga, dengan menggunakan kop yang digeser-geser. Sensasinya sama dengan dikerok.
Apapun metoda dan alat yang dipakai, kearifan local dalam bentuk kerokan itu perlu diturunkan ke anak cucu kita. Selain holistic dengan 4M -- Mudah, Murah, Mesra dan Manjur, kerokan juga aman dari sisi kesehatan
Hasil penelitian Prof. DR. dr. Didik Gunawan Tamtono. PAK, MM, MKes, menunjukan reaksi inflamasi yang terjadi akibat kerokan adalah ringan dan bersifat lokal saja. Adapun ketakutan akan bahayanya semisal menimbulkan serangan jantung atau penularan penyakit belum terbukti. Betul sih, Nenek penulis yang doyan dikerok meninggal, tetapi beliau meninggal di usia 85. Meninggal usia tua. Setelah sekian puluh tahun kerokan tidak berefek apa-apa.
Ingat Kerokan. Ingat 4M -- Murah, Mudah, Mesra dan Manjur.
Ingat! Kerokan. Tidak menyakitkan tapi menyembuhkan. Sakit karena kerokan tergantung seberapa bapernya pasien.