Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Perlu Sembilan dan Tidak Cukup Sembilan

16 November 2017   05:25 Diperbarui: 16 November 2017   05:30 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua foto profil di Kompasiana | Foto: Rifki Feriandi

Dalam segala hal pasti ada kali pertamanya. Dan kali pertama itu tidaklah harus selalu berada saat kita kecil. Malam pertama contohnya. Ups. Menulis, maksud saya.

Tidak seperti mengendarai sepeda pertama kali di usia empat atau lima tahunan, kemampuan saya menulis nyaris tidak diketahui. Di facebook lah saya mulai menulis. Gabungan antara usia dewasa, keberanian memulai sesuatu yang baru, tidak takut gagal, tidak takut malu dan bakat narsis yang mulai tumbuh, maka saya memulai petualangan baru dalam kehidupan. Menulis. Thanks to Zuckenberg akhirnya saya berani menulis di usia tidak muda lagi. Thirty nine my age.

Dua tahun kolom di facebook membuat kemampuan menulis menjadi berkembang. Respons positif selalu menjadi penantang. Sampai saya pindah rumah dan menempati rumah baru bernama Kompasiana. 27 Januari 2011. Bukan tanggal cantik tentunya. Tapi, tanggal penuh kenangan. Kenangan akan keberanian mulanya sebuah perubahan: menulis untuk pembaca lebih luas.

Dua foto profil di Kompasiana | Foto: Rifki Feriandi
Dua foto profil di Kompasiana | Foto: Rifki Feriandi
Awal menghuni rumah baru, saya masih diasyikkan dengan mengasah kemampuan menulis. Posting dan posting. Meskipun begitu, saya tidak juga bisa mengikuti jejak seorang Kompasianer dengan ide gila satu hari satu tulisan. Om Tjiptadinata Effendi? Jaman itu Om Tjip "belum lahir" di Kompasiana. Tantangan itu ternyata dilontarkan penulis muda - yang tulisan eco-greennya kerap saya kunjungi saat itu: Detha Arya Tifada. Tidak one day one post pun, frekuensi menulis saya cukup tinggi. Gairah memuncak, meski postingannya banyak berkutat di kategori humaniora. Tidak salah. Karena kategori ini yang paling dekat dengan keseharian. Saya tuliskan apa yang saya lihat, saya dengar, saya cerna dan saya alami. Boleh jadi saya bermain aman dalam menulis. Tetapi tidak apa toh, karena kategori inilah yang membuat saya nyaman menulis. Saya bukan tipe debat-taker seperti Erianto Anas yang hot-hotnya di kategori agama saat itu. Saya berada di jalur yang kalem - menulis hanya untuk berbagi, siapa tahu memberi inspirasi kepada pembaca. Menjadi sebuah kenangan ketika karena berbagilah, banyak komentar masuk bahwa saya sudah memiliki style tulisan sendiri. Cieee....

Punya style tapi sedikit pembaca? Tidak apa atuh. Dengan pembaca sedikit pun ternyata mendapat kejutan. Iya, ketika sebuah artikel sederhana tentang gundah setlah melihat sebuah program acara teve di mana seorang gila diteriaki gila oleh anak-anak. Tulisan itu sepi peminat. Selama sekian hari tayang, pembaca mentok di 50 orang. Tapi saya justru tidak mengelus dada. Malahan dada saya berbunga. Girang luar biasa. Dan itu hanya karena saya mendapatkan SATU buah komentar. Dan komentarnya pun singkat. Seuprit - atau seupil kata si Ade mah. Komentar yang berbunyi: "Luar Biasa Tulisannya". Komentatornya adalah Kompasianer Andri. Lengkapnya dr Andri SpKJ, fapm. Seorang spesialis kejiwaan, psikiater. Artikel sederhana diapresiasi oleh seorang profesional di bidangnya, kesehatan jiwa, itu gimana rasanya, coba? "Enak, gila!". Yang pasti, komentar itu menjadi kenangan yang susah pudar. Tonggak lecutan semangat untuk terus menulis apa saja yang ingin ditulis. Kompasianer dr Andri SpKJ mungkin tidak menyangka jika komentarnya saat itu begitu membekas dan memberi kekuatan. Tapi itulah esensi dari berbagi berupa apresiasi. Terima kasih brader.

Apresiasi bernilai infiniti :) | Foto: Rifki Feriandi
Apresiasi bernilai infiniti :) | Foto: Rifki Feriandi
Ketika semangat menyala seperti itu, maka tumbuh keberanian untuk menulis genre lainnya: reportase. Beberapa reportase dibuat, Contohnya adalah satu tulisan yang dibuat on the spot berdasarkan pandangan mata ketika menyaksikan kecelakaan lalu lintas di tol Cikampek. Reportase itu kemudian diulas dengan opini tentang pentingnya cek ricek. Sedikit saya kutip tulisan saya itu.

"Bagaimana jika kecelakaan seperti contoh di atas ternyata tidak terjadi di KM 40, tetapi di KM 38.5, atau mobil yang tabrakan bukannya lima, tetapi hanya tiga -- karena dua mobil hanya parkir untuk menolong?"

Jika dipikir, "da aku mah apa atuh", wartawan bukan, penulis juga belum berpengalaman, tapi kok sudah berani mengartikulasikan opini dalam tulisan. Yah, maklum. Jiwa narsisnya makin tumbuh. Dan ternyata sesuatu yang tidak terduga kembali muncul. Pada acara Kopdar Kompasianival - yang tempatnya di fx kalo gak salah - dalam kata sambutannya, Bang Isjet mengutip tulisan saya itu dan membahas sepintas dari sisi kepenulisan atau jurnalistik. Saya cukup kaget. Saat itu saya belum begitu mengenal beliau. Jadi, tatkala beliau mengutip tulisan saya, rasanya itu gimana ya? Entahlah jika orang lain yang mengalaminya. Tetapi bagi saya pribadi, tanpa Mas Isjet sadari, itu sebuah bentuk apresiasi tinggi bagi saya, penulis dini. Tanpa gelar the best of this the best of that, saya nikmati itu sebagai kenangan indah, pelecut untuk menjadi "lebih". Bukan untuk lebih berprestasi saja, tetapi untuk lebih menikmati proses menulis. Bukankah prestasi akan datang jika kita menikmati proses?

Dan prestasi itu akhirnya diraih juga. Juara pertama lomba blog hari ulang tahun TMII berhadiah laptop. Horray. Sebuah pencapaian yang bagi saya pribadi teramat istimewa. Bukan dari sisi hadiahnya atau kualitas tulisannya, melainkan impact-nya. Ini kali pertamanya saya menjadi juara pertama sebuah aktivitas. Dan....ini kali pertamanya saya mendapat piala. Ini menjadi kenangan tak terlupakan, karena akhirnya si Ayah bisa narsis di depan si Ade yang sudah memiliki hampir dua puluh piala. "Yeeey, Ayah juga punya piala". Dan si Ade tidak bisa sombong lagi (dalam konotasi lucu-lucuan khas #adedanayah). Ayah dan anak menjadi lebih dekat.

Juara Dua Gerakan Nasional Non Tunai BI | Foto: Panitia
Juara Dua Gerakan Nasional Non Tunai BI | Foto: Panitia
Sebenarnya lomba-lomba itu tidak melulu diikuti untuk menjadi pemenang. Juga, saya mengikutinya untuk menjajal kemampuan. Dan juga seru-seruan. Why not, jika dengan mengikuti lomba-lomba seperti itu kita justru menjadi akrab dengan berbagai kalangan Kompasianer dari berbagai komunitas. Contohnya ketika saya yang tidak ada apa-apanya di genre fiksi, akhirnya kenal dengan teman-teman baru di Fiksiana Community gegara ikutan lomba menulis Fiksi Anak. Lalu saya mengenal beberapa figur-figur semisal Rahab Ganendra - (dulu imaj puisinya jauh melekat dibanding madyang), Desy Desol, Erry Subakti, Langit Queen (yang dulu sangat misterius). Dan entahlah, saat itu saya girang seperti anak mendapatkan coklat ketika fiksi saya masuk jajaran pemenang dan dibukukan penerbit mayor. Ternyata saya bisa menulis fiksi anak. Girang juga, karena dikomentarin seperti ini: 'aku suka dialog2nya keren, dan natural.... salut!". Girang, karena yang memberi komentar adalah Kompasianer yang fiksinya sering saya baca dan selalu menancapkan kesan mendalam: Mas Granito Ibrahim (akhirnya kita ketemu di Kompasianival 2017, Mas Nito). Itulah connecting.

Dan silaturahim yang menjadi kulminasi perubahan arah perjalanan hidup adalah berupa pertemuan dengan wartawan senior, Thamrin Sonata. Pertemuan -- yang langsung terasa click - di acara nangkring di sebuah toko buku di suatu saat empat tahun lalu itu mengantar saya untuk lebih narsis memperlihatkan diri dengan karya. Bukan hanya janji, tetapi bukti. Dan bukti seorang penulis adalah sebuah tulisan. Dan dengan kenarsisan berkadar kelewatan, tulisan-tulisan itu akhirnya berubah menjadi sebuah buku. Buku pertama (sampai saat ini masih menjadi buku semata wayang) berjudul "Cara Narsis Bisa Nulis'. Buku yang dengan narsisnya saya sendiri bilang keren ini, bersampul warna biru eye catching dengan ide desain berasal dari penulisnya sendiri. Buku ini dilaunching sekaligus dibedah di acara Ngoplah perdana (Ngobrol di Palmerah) oleh Pak Thamrin Sonata, dibuka oleh Kang Pepih Nugraha. Bisa kebayang kan bahagianya. Sudah begitu teh dikomentari lagi oleh senior kita, Pak Thamrin Dahlan dalam resensinya: "Menerbitkan buku pertama kog berani beraninya ngajarin orang lain menulis". OMG.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun