Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senandung Nina Bobok

28 Oktober 2019   05:02 Diperbarui: 28 Oktober 2019   08:39 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Baca Juga : Mitos Ibu

Akhirnya keluarga besar Sutoro pindah  novelis horor, saya butuh suasana demikian.Sejujurnya, saya orang penakut. Istri lebih penakut. Anak-anak terlebih penakut. Agar tercapai kesepakatan, saya memilih rumah semi ketimbang rumah full menyeramkan.Jangan kata saya miskin karena tiap tahun harus pindah kontrakan. Saya bisa  membeli satu atau dua rumah. Jangan kata pula karena saya tak secocokan dengan pemilik rumah.

Misalnya, saya orang yang neko-neko, atau pemiliknya lebih menyeramkan dari rumah itu sendiri. Tapi sekali lagi ini untuk memperturutkan naluri novelis horor saya.Istri dan anak-anak sekarang ini memilih indehoy  ke rumah mertua. Butuh cukup waktu untuk mereka bersosialisasi agar  nyaman menempati  rumah kontrakan baru.

***

Senja ini sekadar memperkenalkan diri dengan warga sekitar, saya ikut bermain remi di warung Mang To. Setelah main remi, saya  akan mengasingkan diri dari warga sekitar. Saya menjelma kelelawar. Bangun malam hari untuk menulis, lalu tidur di siang harinya."Pak Sutoro berani sekali pindah ke rumah itu," celetuk Pak Sunar.

"Saya seorang novelis horor."
"Pak Sutoro tak tahu kisah menyeramkan rumah itu, ya?" Dia heran. Saya menjawab dengan menggeleng santai.

Lelaki itu kemudian bercerita, konon berbilang tahun lalu, rumah besar itu dihuni oleh sepasang Belanda dan anak balita bernama Nina.
Setiap malam, sayup-sayup terdengar si nyonya akan bersenandung, "Nina bobok oh Nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk. Boboklah sayang... Ah, saya tak sanggup melanjutkannya. Saya merinding. Serem!"

"Apanya yang serem?"

Pak Sunar menyambung ceritanya, bahwa pada suatu waktu, Nina terkena kanker darah. Ke mana-mana dia dibawa berobat, tapi hasilnya mengecewakan. Usulan si nyonya agar Nina dibawa berobat ke Belanda, ditunda sang suami. Ada urusan penting yang harus dia selesaikan di kantor atase. Dia baru lapang pada dua bulan selanjutnya.

Akan tetapi rencana ternyata tinggal rencana. Sehari sebelum mereka berangkat ke Belanda, Nina meninggal dunia.
Si nyonya tetap yakin Nina masih hidup. Sang suami diam-diam mengganti jasadnya dengan boneka. Maka setiap malam, si nyonya tetap setia bersenandung, "Nina bobok, oh Nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk."

"Lalu ke mana akhirnya sepasang Belanda itu?" Saya penasaran.
"Pulang kembali ke negerinya. Rumah itu pun dimiliki olek tukang kebun. Tukang kebun itu kakek Bambang, pemilik rumah yang sekarang ini." Saya masih ingin bertanya banyak. Tapi warung Mang To sudah sepi. Semua sudah menghambur pergi meninggalkan kartu remi yang berserakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun