Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

KKN di Desa Mpok Nari

17 September 2019   14:05 Diperbarui: 17 September 2019   16:08 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Perlu saya jelaskan, tubuh Bibah tetap tak berubah. Artinya, masih sama seperti dia datang dari kota. Karena setiap apa yang dimasukkannya ke mulut, beberapa jam kemudian pasti akan keluar. Pastinya itu yang sangat mengesalkan. Dia harus melapor ke belakang setiap malam. Sementara kakus di desa itu adanya di kanal berjarak seratusan meter lebih dari rumah Mpok Nari. Sialnya lagi, Luna dan Siska tidak pernah mau diminta bantuan sekadar menemani ke kakus desa. Mereka bertiga sama-sama penakutnya. Untunglah seorang Paijo dengan senang hati menemani Bibah.

"Dengan senang hati aku akan menemani ibu bidan ke mana pun." Itu yang diucapkan Paijo ketika malam pertama menemani Bibah ke kakus desa. 

Awalnya lelaki ini tak ada perasaan kepada Bibah. Tapi karena hampir setiap malam menemaninya ke kakus desa, timbul pula benih cinta di hati si perjaka. Entah sama juga yang timbul di hati Bibah, saya tak tahu.

Memang tak ada yang menarik dari tampilan perempuan itu. Sudah berbadan gemuk laksana tong, jerawat Bibah juga besar-besar. Kata orang jerawat batu. Makannya kuat, pup-nya juga deras. Sementara Paijo itu perjaka kurus. Badannya nyaris seperti papan penggilasan. Keluarga Paijo seperti dikutuk menjadi orang-orang kurus seperti kurang makan, meskipun rata-rata mereka kuat makan. Terbetik di benak Paijo ingin memperbaiki keturunan, agar anak-anaknya gemuk-gemuk, maka di bulan ketiga dia menemani Bibah pup di kanal, Paijo berkata, "Aku boleh ngomong nggak?"

"Nanti dulu. Tunggu aku selesai," jawab Bibah.

Setengah jam kemudian dia keluar dari kakus sambil mesem-mesem. "Akhirnya lega. Perut sudah kempes."

Paijo tersenyum geli. Perut Bibah tetap saja gembung. Mereka berjalan agak jauh, lalu berhenti di dekat pohon kapuk. Malam itu sedang banyak kunang-kunang. Mungkin  musim kawin.

"Indah sekali kunang-kunang itu, ya? Mereka sedang mencari pasangannya," kata Paijo.

"Iya." Bibah tiba-tiba teringat sesuatu. "O, iya. Kau tadi mau bilang apa?"

"Aku."

Bibah menjerit. Dia ketakutan karena ada berang-berang melintas. Dia tak sadar memeluk Paijo. Tapi, sekejap kemudian dia melepas pelukannya. Dia tersenyum malu-malu. Paijo merasa ada cinta memancar dari mata Bibah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun