"Hus! Jangan berpikiran macam-macam, Bang. Karena tak ada yang menjadi pengabar kematian di masjid, baiklah ibu dan Otto pastikan siapa  yang mati sambil takziah ke rumah Pak Barus. Abang kurang sehat, jadi jaga rumah saja."
Badan saya tiba-tiba menggigil. Saya masuk ke kamar, dan tak lagi mendengar suara salam istri dan Otto. Saya baru tahu tinggal di rumah ini sendirian, ketika suasana begitu sunyi. Bagaimana kalau saya mati, dan jasad saya mengeras karena terlambat diketahui  anak istri? Atau, bagaimana sekiranya Pak Barus menghantui saya?Â
Saya teringat tiga hari lalu dia bermaaf-maafan dengan seluruh jamaah masjid. Setelah itu dia sakit keras, hingga sekarang dia akhirnynya  mati. Hiii!
Hampir isya. Istri  dan Otto belum pulang. Badan saya sudah agak enakan. Tapi, udara sangat tak enak. Pengap!Â
Saya memilih duduk di teras setelah menyiapkan segelas kopi dan sejumput kacang rebus. Angin semilir menyambut saya, membuat lega.
Tiba-tiba saya mencium bau-bauan yang asing sekali. Seperti parfum sinyongnyong. Saya parnoan. Jangan-jangan hantu Pak Barus sedang berkeliaran.
Benar saja, saya melihat Pak Barus melintas, entah mau ke mana. Dia tersenyum ke arah saya. Â
Saking ketakutan, saya kejang tak sadarkan diri. Saat siuman, hidung saya terbenam di rerimbun hutan berbau masem. Ternyata hidung saya terbenam di ketiak istri.
"Alhamdulillah abang siuman," katanya senang.
"Bukan apa-apa, tadi saya dihantui Pak Barus."
"Sembarangan saja!" Istri menjelaskan yang mati itu tetangga Pak Barus. Kebetulan rumah tetangganya itu sedang direnovasi. Jadi mayat disemayamkan di ruang tengah rumah Pak Barus.