Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengabar Kematian

15 September 2019   14:18 Diperbarui: 15 September 2019   20:46 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay/Tama66

Dulu ada mitos, apabila burung gagak menyinggahi kampung kami, lalu dia bernyanyi, alamat akan ada yang mati di situ besok hari. Terkadang memang terbukti, tapi lebih sering tidak. Bahayanya, bila burung gagak bernyanyi di bubungan rumah seseorang, dikuatirkan akan ada yang mati di rumah itu besok hari. Ini juga terbukti, tapi tetap saja lebih sering tidak. 

Ketika saya sudah berkeluarga, lalu tinggal di kampung berbeda, mitos itu pun tak pernah lagi saya dengar. Pengabar kematian bukan lagi mitos burung gagak, tapi seorang tua berusia nyaris tujuh puluh tahun. Orang memanggilnya Pak Barus, karena dia memang berasal dari kota Barus, Tapanuli Tengah.  Setiap kali nyanyi batuknya terdengar di toa masjid pada waktu yang tidak tepat, semisal bukan pagi Jum'at, atau bukan menjelang shalat fardhu, alamat ada yang lewat di kampung kami. Maksud lewat  adalah mati. Suara Pak Barus ibarat suara malaikat pencabut nyawa.

Bila dia sedang mengetes toa masjid, seperti kata saya bukan pada waktu yang tepat, setiap orang akan membisu. Yang sedang berbual di warung kopi, berhenti membual. Yang sedang asyik bermain catur, menghentikan pergerakan anak bidak. Bahkan yang sedang kelonan, terpaksa menghentikan kegiatannya.

Siapa kiranya yang dipanggil pagi ini? Kuping dibesarkan, kalau bisa sebesar tampah. Jika yang mati kaum-kerabat, bersimbahlah keringat dan air mata. Jika orang jauh yang mati,  kembali pula melanjutkan kegiatan yang tertunda.

Terkadang aku berpikir, bagaimana sekiranya Pak Barus yang mati, siapa yang menggantikannya menjadi pengabar kematian? 

Telah banyak yang coba ditunjuk paksa. Tapi, semua menggeleng tegas. Selain karena upahnya tak ada, menjadi pengabar kematian itu sangat mengerikan. Lebih ngeri dari sekadar bertemu dengan setan.

Pada saat kami sedang bermain remi di halaman rumah Pakde pagi ini, Kirin mengabarkan hal yang mengejutkan.

 "Apa?" tanya kami serempak saat tak yakin kabar yang dibawanya.

"Pak Barus sakit keras."

"Kenapa jadinya? Tentu kita perlu menjenguk Pak Barus, kan?"  Saya menyeka keringat yang bersimbah. Sudah empat bulan ini kemarau memanggang kampung kami. Ladang-sawah sekarat. Jangankan air parit, air sungai pun kering.

"Kenapa jadinya katamu! Kalau ada orang mati, apa kau mau menjadi pengabar kematian?" Pakde menyikut saya.

"Tentu tidak!" jawab saya. Permainan pun bubar karena terdengar suara azan zhuhur. Yang azan Mat Din. 

Saya mulai takut, biasanya Pak Barus merangkap sebagai petugas azan selain pengabar kematian. Bilamana dia mati, siapa yang akan menggantikan tugasnya yang berat itu?

Selepas Shalat Zhuhur, dan bersantap kari kambing limpahan juadah tetangga yang anaknya sedang aqiqah, tiba-tiba saya pening bukan buatan. Dari telapak kaki sampai batas paha, terasa dingin. Dari perut sampai pangkal leher, terasa panas. Jangan-jangan saya akan mati. Siapa yang menjadi pengabar kematian kalau saya mati?

"Apakah  aku akan mati, Bu?" tanya saya kepada istri yang diam di rusuk kamar. Dia sedang melipat seragam sekolah anak-anak.  

"Hus! Ngomong kok ngawur. Makanya, makan itu ingat-ingat. Abang ada darah tinggi. Dikasih tahu jangan makan kari kambing, kok ngeyel!"

"Siapa yang menjadi pengabar kematianku?"

"Jangan ngawur, ah!"

Istri pergi ke belakang rumah. Saya menjadi semakin takut. Mata saya berkunang-kunang. Sebentar saja, saya tak ingat apa-apa. Saya tertidur lelap karena kekenyangan bersantap juadah kari kambing yang sangat sedap.  Saat terbangun, kondisi saya sudah mendingan. Tapi, kepala masih pening. Saya terbangun karena mendengar celoteh si Otto di ruang tamu.

"Ada apa ribut-ribut?" Saya kuat-kuatkan badan, bergabung dengan anak istri di ruang tengah.

"Ini lho, Pak! Kata Otto ada yang mati di rumah Pak Barus," jawab istri.

"Jangan-jangan Pak Barus!"

"Hus! Jangan berpikiran macam-macam, Bang. Karena tak ada yang menjadi pengabar kematian di masjid, baiklah ibu dan Otto pastikan siapa  yang mati sambil takziah ke rumah Pak Barus. Abang kurang sehat, jadi jaga rumah saja."

Badan saya tiba-tiba menggigil. Saya masuk ke kamar, dan tak lagi mendengar suara salam istri dan Otto. Saya baru tahu tinggal di rumah ini sendirian, ketika suasana begitu sunyi. Bagaimana kalau saya mati, dan jasad saya mengeras karena terlambat diketahui  anak istri? Atau, bagaimana sekiranya Pak Barus menghantui saya? 

Saya teringat tiga hari lalu dia bermaaf-maafan dengan seluruh jamaah masjid. Setelah itu dia sakit keras, hingga sekarang dia akhirnynya  mati. Hiii!

Hampir isya. Istri  dan Otto belum pulang. Badan saya sudah agak enakan. Tapi, udara sangat tak enak. Pengap! 

Saya memilih duduk di teras setelah menyiapkan segelas kopi dan sejumput kacang rebus. Angin semilir menyambut saya, membuat lega.

Tiba-tiba saya mencium bau-bauan yang asing sekali. Seperti parfum sinyongnyong. Saya parnoan. Jangan-jangan hantu Pak Barus sedang berkeliaran.

Benar saja, saya melihat Pak Barus melintas, entah mau ke mana. Dia tersenyum ke arah saya.  

Saking ketakutan, saya kejang tak sadarkan diri. Saat siuman, hidung saya terbenam di rerimbun hutan berbau masem. Ternyata hidung saya terbenam di ketiak istri.

"Alhamdulillah abang siuman," katanya senang.

"Bukan apa-apa, tadi saya dihantui Pak Barus."

"Sembarangan saja!" Istri menjelaskan yang mati itu tetangga Pak Barus. Kebetulan rumah tetangganya itu sedang direnovasi. Jadi mayat disemayamkan di ruang tengah rumah Pak Barus.

Saya malu-malu kucing. Saya menuju kamar karena badan menggigil lantaran malu.

Saat fajar baru menyembul di ufuk timur, dan saya menikmati kopi panas di teras  rumah, pengabar kematian kembali bersuara di masjid. Ada batuk-batuk mengawali berita duka itu. Saya kenal betul suara Pak Barus.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun