Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Pahlawanku] Sang Profesor

18 Agustus 2019   19:08 Diperbarui: 18 Agustus 2019   19:12 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Maka pukul empat sore tepat aku tiba di sudut kafe itu. Langit Palembang cerah. Ada desing halus dari kipas angin tegak di ujung ruangan. 

Hari ini listrik mati dari jam tujuh pagi. Pemadaman bergilir. Melekat di dinding, ada lima unit ac. Tak berfungsi. Pemilik kafe tadi saat menyambutku, sempat meminta maaf  karena ruangan hanya berpendingin kipas angin tegak. Berharap kepada ac, jelas tak mungkin. Pastilah dia harus berulangkali ke belakang karena genset merajuk kelebihan beban. Bisa berkuah ini leher, batinku tak karuan.

Aku tak ingin mencari kafe lain. Capek! Lagi pula dalam keadaan mati listrik begini, mana ada tempat yang nyaman untuk kongkow-kongkow. Bisa jadi  ada yang nyaman bagi badan, tapi belum tentu nyaman bagi lidah, maksudku makanan dan minumannya.

Kulirik pesan WA terakhir dari Profesor Lantam sejam lalu. Bahwa dia akan tiba pukul empat tepat. Seperti biasa, di kafe yang menjadi tempat kami kongkow-kongkow puluhan tahun lalu. 

Setelah dia menjadi montir pesawat di Jerman, kami tak pernah lagi bertemu. Sekali dia meneleponku saat dia baru sebulan di Jerman menjabat junior montir. Tapi berikutnya aku kehilangan nomornya, ketika main-main ke warung terapung di pinggir Kuto Besak. 

Ponselku tercebur ke sungai Musi. Padam. Padam juga seluruh nomor kontak, termasuk nomor telepon Lantam. Artinya kami putus hubungan. Saya tak mungkin hapal nomor teleponnya. Sepertinya itu nomor telepon Jerman.

Aku bayangkan dia sekarang berperut buncit seperti aku. Bagian depan kepalanya botak, sementara aku masih berjambul, meskipun warnanya merata silver. Mungkin hanya satu yang betah dia rawat; jam karet. 

Setiap ada acara apa saja, hidungnya baru nongol kala acara sudah bubar. Karenanyalah jika dia tokoh utama dalam suatu acara, maka dia harus diberitahu bahwa acara sudah dimulai dua jam sebelumnya. Misalnya, acara dimulai jam delapan, katakanlah jam enam. Begitu seterusnya.

Di kafe ini sudah ada tiga orang pengunjung. Pertama, perempuan setengah baya yang tak lepas dari gawai. Dia selalu tertawa, nyaris seperti orang gila. 

Kedua, lelaki yang betah membaca sebuah buku, barangkali novel, sehingga es krim di depannya mulai mencair dihantam kipas angin. Dan ketiga, lelaki yang sepertinya sangat ganjil berada di kafe ini. Badannya kurus, coklat, juga agak pendek. Lobang hidungnya terlalu lebar untuk ukuran mulut mungil, tapi dia berbibir tebal-hitam. Baju batiknya--- ke kafe mengenakan batik?---sudah buram. Kembangnya pupus. Terakhir, dan membuatku geli, sendal jepitnya yang aus dimakan usia. Sangat tak cocok! Dalam hati, aku mencibir.

"Harefa! Saudara tuaku!" Lengking suara itu menyentakkanku. Di ambang pintu belakang, berdiri tegap lelaki gagah berambut panjang. Dia melebarkan tangan, seperti berniat memelukku. Siapakah sebenarnya dia? Tapi, codet di keningnya, membuatku mengingat seseorang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun