Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ulang Tahun Pernikahan Perak

28 Juli 2019   23:59 Diperbarui: 29 Juli 2019   00:26 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Entah angin apa yang mengajak  saya singgah di sini. Terpacak di teras restoran dalam penerangan lampu warna-warni setengah suram. Suara musik lembut membuai angan, menjelanak dari dalam restoran.

Tiba-tiba saya merasa dipeluk hangat  Mas Anggoro. Tangannya melingkari pinggang. Dengusnya menjalari tengkuk ini, membuat saya menggelinjing. Dia mengakhirinya dengan kecupan nakal, juga ucapan teramat syahdu tentang cinta. 

Saya serasa menapak di awan. Tapi, apakah itu akan terulang kembali?  Dia terlalu sibuk mengurusi proyeknya, sehingga saya lupa kapan terakhir kali kami menikmati teh manis hangat sambil menunggu kepingan senja jatuh di halaman. Kapan terakhir kali dia mengapit tubuh saya di malam buta berhujan,  dan kami dengan senang melakukannya. Apakah ini akhir kemesraan sepasang insan menjelang kerut usia pelan-pelan membunuhnya?

Saya juga terpaksa kembali bekerja sebagai desainer di rumah butik teman, semata-mata karena merasa sepi sendirian di rumah. Mas Anggoro semakin tenggelam dalam kesibukannya. Kedua anak kembar saya tak bisa lekang dari urusan pacaran dan tetek-bengek lainnya. Apakah saya bisa bertahan mengutuki jam yang seperti lambat melaju? Atau, saya ingin secepatnya gila? Saya pikir, kerja adalah pilihan terburuk dari yang terburuk bagi saya, karena sudah pasti hubungan saya dan Mas Anggoro semakin renggang. Juga dengan anak-anak.

Tentu saja saya tak ingin hubungan dengan Mas Anggoro semakin dingin, apalagi dia mungkin ada affair dengan pelakor. Maka seminggu ini,  hampir seluruh ruangan di rumah saya, diisi almanak baru, meskipun ini namanya mubazir, karena beberapa bulan lagi, tahun ini menutup usia. Saya melingkari tanggal dua puluh tujuh Juli dengan spidol merah  permanen. Itu adalah tanggal sakral saya dan suami: ulang tahun pernikahan perak. Dan itu hari ini. Tapi, tak ada tanda-tanda Mas Anggoro mengingatnya. 

Saya tadi siang amat bergairah ketika layar telepon menyala, bertuliskan namanya. Mungkin dia akan mengucapkan kata-kata mesra tentang selamat ulang tahun perak. Atau, dia telah membooking suatu tempat paling romantis di Indonesia. Dia akan kembali mengatakan jatuh cinta kepada saya.

Tapi, alangkah bodohnya saya bila  berpikir Mas Anggoro akan mengatakan seperti itu. Dia hanya mengabarkan tidak bisa pulang hari ini karena ada urusan sangat genting yang harus diselesaikan di tengah hutan. Di tengah hutan? Bukan di rumah selingkuhan?

Saya menarik napas panjang, mencoba agar air mata yang tergenang, tidak pecah di tanah. Tapi, tak bisa. Saya menghalanginya jatuh dengan sapu tangan merah muda. Saya harus menangis malam ini. Rintik hujan seolah ingin menemani rintik air mata. Apakah kejadian yang saya alami,  juga dialami perempuan lain, ketika usia pernikahannya di ambang senja? Mendiang ibu saya pernah mengatakan, ambang senja sepasang insan, ketika mereka sedang merayakan ulang tahun pernikahan emas.

Ya, mungkin seangkatan mendiang ibu dan ayah masih bisa mengamini ungkapan itu. Tapi, seangkatan saya, sepertinya ungkapan itu sudah basi. Bahkan ada yang bercerai hanya hitungan bulan setelah menikah. Baranglkali karena berbeda prinsip, atau ada campur-tangan pihak ketiga semisal pelakor, atau siapa saja yang memiliki hasad dengki. 

Saya ingat betapa lembutnya Mas Anggoro ketika kami pacaran. Lalu, kelembutan itu lambat-laun menghilang seiring usia pernikahan yang bertambah. 

Saya kembali menyeka air mata. Saya baru ingat, adanya saya terpacak di teras ini, mutlak karena ajakan Bang Arnal, sepupu saya. Mungkin saya harus masuk ke dalam, siapa tahu dia tak sabaran menunggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun