Ketika Irigasi Mati 15 Tahun, Siapa yang Lalai?
“Ketika air berhenti mengalir, yang kering bukan hanya sawah, tapi juga harapan.”
Oleh Karnita
Ketika Air Menjadi Barang Langka di Tanah Subur
Mengapa tanah yang subur bisa mati tanpa air selama 15 tahun? Pertanyaan itu mencuat usai pemberitaan Kompas.com (6 Oktober 2025) berjudul “3 Biang Keladi Penyebab Irigasi di Purworejo Mati Selama 15 Tahun” oleh Bayu Apriliano dan Gloria Setyvani Putri. Laporan ini membuka luka lama para petani di Kecamatan Bayan dan Gebang, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang 1.390 hektar lahannya kini menanti air yang tak kunjung datang.
Di wilayah yang dulunya lumbung padi itu, musim kemarau bukan sekadar jeda tanam, tapi pertaruhan hidup. Irigasi yang rusak membuat ribuan petani hanya bisa menanam sekali setahun, jauh dari potensi tiga kali musim tanam seperti dulu. Inilah potret nyata bagaimana pembangunan yang macet bisa melumpuhkan kesejahteraan warga desa.
Penulis tertarik membahasnya bukan sekadar karena nilai beritanya, melainkan karena masalah ini mencerminkan paradoks besar di negeri agraris. Ketika sawah merana di tengah janji kedaulatan pangan, kita perlu bertanya: di mana letak keadilan air bagi petani kecil yang menjaga dapur bangsa?
Kerusakan Infrastruktur: Luka Fisik yang Membusuk
Masalah pertama yang mengemuka adalah kerusakan infrastruktur irigasi hingga 85 persen, seperti diungkap Ismail, perwakilan GP3A Loning-Kragilan. Saluran air sekunder banyak yang runtuh, bendung utama tak berfungsi, dan pintu air dibiarkan usang tanpa perawatan. Ironisnya, irigasi ini dulunya menjadi nadi pertanian yang membuat Gebang dikenal sebagai salah satu daerah produktif di Jawa Tengah.
Kerusakan fisik ini bukan hanya akibat usia, tetapi karena lemahnya pengawasan dan kurangnya investasi dalam perawatan sistem air. Irigasi kerap dianggap proyek satu kali bangun, padahal butuh perawatan berkelanjutan. Ketika saluran rusak dibiarkan, dampaknya mengular: air tak sampai ke sawah, produksi turun, dan ekonomi desa lumpuh.