* * *
Bibirku bergetar. Ibu belum pulang dari pasar. Hujan di luar deras. Ayah yang telah menyelesaikan lukisannya sedang rebahan di lapik tipis ruang kerjanya. Dia menyuruhku membuatkan dua gelas teh. Segelas untukku, dan segelas untuknya. Saat teh itu kubawa di atas nampan yang bergetar (sebenarnya tanganku yang bergetar), ayah menyuruhku meletakkan nampan itu di sudut ruang. Gelas di atasnya berdentingan.
Ayah menoleh. Menatapku lembut. Dia memintaku berbuat seperti yang dilakukannya. Rebahan sambil menatap baling-baling cailing fan. Entah apa yang menarik di situ. Selain warnanya yang merah buram, hanya suaranya yang berkriut-kriut memilukan itu membuatnya menjadi asing.
Aku ragu-ragu melakukan sikap seperti ayah. Pangkal pahaku berkeringat. Aku ingat teman-teman yang pernah dimakan oleh ayah mereka sendiri. Adakah kondisi demikian menimpaku pula? Ah, tidak! Aku yakin. Paling-paling ayah hanya ingin lebih mematangkan ancaman, bahwa aku tak akan membocorkan rahasia sesuatu yang ada di selangkangannya kepada orang lain.
"Apa perasaanmu setelah haid, Nak?" tanya ayah lembut. Kulirik tangannya. Tangan itu tak bergerak.
"Asing! Tak enak!" jawabku lirih. Angin menyelusup dari kisi-kisi ventilasi di atas jendela ruang.
"Apakah sudah ada perubahan kepada dirimu?"
"Sedikit! Dadaku sakit, dan bentuknya mulai menonjol. Tumbuh bulu-bulu halus di selangkanganku." Pipiku juga sering bersemu merah. Tubuhku terasa hangat, meski sekarang hujan menerbas di luar sana.
"Bagaimana dengan pacar?"
Aku membisu. Aku duduk sambil memeluk kedua belah lutut. Kutatap semut hitam yang beriring di sudut ruang. Apakah mereka mengalami haid seperti aku? Apakah mereka memiliki ayah seperti milikku?
"Pacar belum ada," jawabku akhirnya. "Tapi rasa suka terhadap teman lelaki sudah mulai ada."