"Bagaimana dengan ayahku? Apakah dia orang yang bejad? Sebab dialah yang menyeretku ke kamar mandi untuk membersihkan darah haid itu, kemudian menerangkan bahwa aku sudah akil-baliq."
"Dia yang membersihkan darah haidmu?" Mata Mien membelalak. Aku mengangguk. "Pasti ada yang aneh. Bisa saja dia memiliki hasrat lain terhadapmu. Kenapa bukan ibumu saja yang membersihkan darah haid, dan menerangkan tentang akil-baliq itu?"
Kukatakan mustahil terjadi. Ibu terlalu sibuk dengan urusannya di luar. Orang yang terdekat denganku hanyalah ayah. Jadi, wajar saja dia yang lebih tanggap untuk memperlakukan keaqilbalikanku. Mengenai handuk melorot dan sesudahnya, sengaja kurahasiakan. Itu hanya sebuah aib yang sangat memalukan keluargaku.
"Tapi bisa saja, Arini. Seorang lelaki, meski dia adalah ayah kandungmu, pasti bergetar ketika melihatmu mulai mengkal. Siapa coba lelaki yang tak bergairah dengan dada mengkal, paha mulus menantang." Dia tertawa.
"Cara bicaramu sudah amat dewasa, Mien."
"Ya, itulah aku, Arini. Lingkungan keluargaku yang menyebabkannya."
"Tapi ayahku baik, kok!"
"Mana ada musang yang menunjukkan kebuasannya kepada seekor ayam."
"Tapi ayahku bukan musang!"
"Ayahmu laki-laki juga, kan?"
Aku mengangguk.