Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bangkai

19 Juli 2019   09:26 Diperbarui: 19 Juli 2019   09:39 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Bau busuk menyergap hebat. Seperti bau bangkai. Pertama diendus istriku di dapur. Kemudian menjalar ke ruang tamu, ruang makan, kamar mandi, bahkan ke kamar tidur. Milsa, putriku yang penjijik, bahkan sampai termuntah. Dia memilih mengungsi ke rumah temannya, kelang tiga rumah dari rumah kami.

"Mungkin ada tikus mati di loteng, Pak!" gerutu istriku.

Pikirannya pasti mumet. Bagaimana tidak. Sebentar sore, rumah kami akan dipenuhi oleh ibu-ibu sekomplek perumahan. Jatah istriku hari ini menjadi tuan rumah untuk acara arisan yang hampir setiap bulan diadakan.

Termasuk tentu saja aku tak kalah kelabakan. Pak Ramlan dan beberapa teman akrabku, pun sudah berjanji menonton bola bareng di tivi rumah ini. Coba, siapa yang betah dengan bau bangkai? Yang ada semua bubar seperti gerombolan lebah diserbu asap.

"Apa ada yang masang racun tikus, Bu? Kau Min?" tanyaku kepada istriku, kemudian beralih kepada Minah, si pembantu rumah.

"Tidak, Tuan. Kalau tidak disuruh, saya tak akan mengerjakannya." Minah ngeloyor ke belakang, menghindari perang gerutuan antara aku dan istri.

Pilihat terakhir hanyalah memanggil Mang Ripin. Dia tukang rumah langganan kami. Maka, ketika dia datang, rumah diacak-acak. Dari kolong meja, dipan, lemari. Dari ruang dapur, kamar tamu, kamar makan, kamar mandi, kamar tidur dan gudang.

"Mang Ripin, kenapa tak langsung diselidiki ke loteng? Ini namanya seperti kapal pecah!"

Mang Ripin nyengir. Selalu begitu tingkahnya kalau aku sudah mulai naik darah. "Ya, dicari di bawah sini dulu, siapa tahu ada. Kan capek mengubek loteng kalau bangkainya ada di bawah sini." Ada-ada saja jawaban manusia satu ini.

Tapi, kendati kepala dan wajah Mang Ripin menghitam dan penuh sarang laba-laba, dia sama sekali tak menemukan biang bau busuk itu. Aneh! Kok bisa, ya?

"Jadi, bagaimana, Pak?" Wajah istriku pias.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun