Papa Lina memang seperti bayanganku, seseorang yang sinis dan menatapku hanya dengan sebelah mata. Dia melihatku datang dengan tongkrongan sepeda motor, bukan mercy yang mungkin berkelebat dalam benaknya. Dia melihatku dari ujung kaki ke ujung rambut, sebelum aku sempat menyapa.
Percakapan bermula kaku, kemudian lancar setelah kuutarakan latar belakang keluargaku. Artinya, dia lancar menceramahiku. Bahwa dia tak menyetujui aku dekat-dekat anaknya. Bahwa dia ingin Lina hanya bergaul dengan kaum berkelas. Dia ragu aku dapat memberikan kesejahteraan bagi anaknya. Menurutnya, garis wajahku tak mencerminkan sosok yang kelak akan sukses. Jadi, dia memintaku menjauhi Lina kalau aku tak ingin celaka.
Hanya itu yang diucapkannya, sampai aku pun harus minggat sebelum Lina pulang dari mall. Setelah itu pergerakanku berdua Lina mulai dibatasi. Ada mata-mata yang selalu mengikuti ke mana saja dia pergi. Bahkan suatu hari, aku terkena bogem si mata-mata saat aku keluar dari bioskop bersama Lina.
Lina menyalahkanku karena nekat berkunjung ke rumahnya. Kalau tidak, pastilah kami masih tetap aman-aman saja. Kami masih dapat bersua sesuai kehendak.
Lebih menyakitkan lagi, setamat kuliah, Lina langsung dikirim orangtuanya ke kota J. Dia bekerja di perusaan kawan papanya. Tapi kami masih bisa berkomunikasi lewat telepon, meski tak terlalu sering. Kata Lina, selalu saja ada pengawal yang mengikutinya. Entah sampai kapan. Mungkin setelah papanya bosan.
Aku patah arang. Aku hengkang ke kota Bj menuruti kehendak Om Gun. Sebulan lebih aku tak ingin menelepon Lina, begitu pula Lina tak bermaksud meneleponku. Suatu kali menelepon, dia sudah berada di kota asal kami. Dia berhenti bekerja di kota J, karena akan dilamar lelaki kaya-raya.
Aku semakin patah arang. Namun tetap saja aku tak bisa melupakannya. Kami masih sering berteleponan. Bahkan ketika aku liburan ke daerah asalku, kusempatkan bersua dia di tempat tersembunyi. Ini memang melanggar norma-norma agama, tapi aku sudah tak perduli. Lina juga demikian. Sampai sekarang hubungan kami tak retak. Kataku, "Kutunggu terus jandamu."
---