Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ikan Asin dan Mah Yong

15 Juli 2019   23:22 Diperbarui: 16 Juli 2019   23:45 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Surga makanan bagi para pembecak adalah warung yang menyempil di pagar pembatas lorong antara perkantoran dan rumah penduduk. Tentu saja karena harganya merakyat karena tak terlampau jauh dari nominal sepuluh ribu, pun karena beragam makanan di situ sangat dekat dengan rakyat jelata. 

Lidahku yang merakyat senang sekali makan di situ. Rekan kerja yang merasa berkelas, lebih memilih tempat burjois untuk makan siang, bahkan hanya sekedar icip-icip kopi.

Tentu saja butuh menggenjot becak seminggu untuk bisa bersantap mewah begitu. Meski apa saja yang mereka perbincangkan di situ tak ada bedanya dengan obrolan di warung kaki lima.

Dan aku lebih memilih warung rakyat itu. Tak ada peraturan di sini yang mengharuskan jaga gengsi. Tak peduli kau makannya mencengkam dan mulutmu bertabur nasi karena kebanyakan membual. Kau boleh makan sambil mengangkat kaki satu. Boleh juga mendongkrak gigi tanpa perduli imaji. Satu yang paling kusuka. Misalnya aku ingin meneraktir sekali dua para pembecak,  traktiran itu memang pada tempat yang tepat. Ibarat kata aku menuang garam pada juadah berkuah yang memang pada porsinya. Bukan penuh kesia-siaan dengan menggarami laut yang sudah asin. Kuharap kau faham kalimat bertangkai ini.

Nama warung ini---karena milik rakyat---adalah Warung Rakyat. Mayorits  lauk makan siang di sini tak jauh-jauh dari trah ikan asin. Mulai dari ikan peda hingga ikan rebus asin. Mulai dari teri bermata besar mau pun teri nasi. 

Pilihanku paling sering ikan asin termahal yang dibakar. Karena aku doyan menggabungnya dengan daun ubi tumbuk dan sambal tuk tuk. Juga dengan sejumput jengkol. Ladalah bersantap bukan lagi yang berkuah, badan pun ikutan berkuah karena warung hanya berpendingin kipas angin yang hampir mendiang.

Pemilik warung adalah Mandailing totok yang biasa disebut Mak Yong. Anak sulungnya memang bernama Yoyong. Berhubung si perempuan  maniak game online mahyong, kami akhirnya menyebut dia Mah Yong alias mamahnya si Yoyong.

Siang ini ketika aku hendak bersantap nasi berlauk teri nasi sambal kacang yang dilumuri kecap asin cap panah, Murtado datang sambil mencak-mencak. Dia menusuk-nusuk koran yang dia bawa. "Ini penghinaan!"

Mah Yong menghidangkan pesananku. Sepertinya selera makan siangku turun selevel. Apalagi melihat knalpot Murtado merepet menimbulkan hujan lokal. Sengaja kuhalangi hujan itu dengan toples krupuk.

"Masam mananya kau, Murtado. Pening kepalaku. Palak kali aku lihat muccung kau tuh. Kukoyak-koyak nanti baru tau kau." Mah Yong balas merepet. Selera makanku turun dua level.

"Bukan begitu, Etek Mah Yong.  Persoalannya, ada orang yang menghina makanan kerajaan kita. Ini sudah perbuatan tidak menyenangkan. Kalian baca dulu koran ini." Semua sibuk mencubit ikan asin. Selera makanku kembali seperti semula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun