Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Lalu Biarlah Berlalu

1 Juli 2019   20:55 Diperbarui: 1 Juli 2019   21:01 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Terkadang bila tak arif menyikapi kesejahteraan hidup, seringkali yang didapat hanyalah kesia-siaan dan dosa. Seperti yang kualami ketika orangtuaku berjaya, aku  selalu tenggelam dalam dunia hura-hura. Setiap malam minggu aku tak lupa mengunjungi diskotik atau pub malam atau tempat-tempat hiburan lainnya. Gonta-ganti pacar pun sudah mafhum dalam kamusku. Jangan tanya lagi mengenai hubungan seks. Mungkin sudah belasan kali aku melakukannya dengan pacar-pacarku.

Tapi kelenaan tak selamanya berlaku. Angin krisis moneter kiranya sanggup merontokkan kedigjayaan orangtuaku. Perusahaan tempat mereka bekerja ambruk alias kolaps. Rumah mentereng, mobil mewah dan kemilau perhiasan, tergadai sekian bulan setelah orangtuaku menjadi orang rumahan. Sementara aku stop sama sekali dengan hura-hura. Bagaimana lagi mau berhura-hura, uang di kantong tak lagi segemuk dulu.

Begitulah waktu bergulir sedemikian cepat. Kami terpaksa menjadi orang rendahan dan hidup berhemat. Ayah bekerja sekadar membantu teman-temannya paruh waktu. Ibu mencoba peruntungan dengan keahliannya menjahit baju. Sementara aku, melulu fokus melanjutkan kuliah yang sebelumnya terbengkalai. Tapi tak sampai berbilang bulan, aku harus berhenti kuliah dan membantu ibu dengan usahanya.

Aku kemudian mulai ditinggalkan teman dari kaum jet zet. Tapi tak apalah. Aku juga bisa berteman dengan kaum pinggiran. Lagi pula, setelah dirasa-rasakan, berteman dengan kaum pinggiran lebih enak ketimbang dengan mereka yang jet zet. Apalagi kaum pinggiran senang sekali saling memberi nasihat, terutama masalah ibadah keagamaan.

Setelah melarat pula aku selalu menangisi masa laluku yang berkubang maksiat. Aku cemas melangkah ke masa depan yang pasti suram bila dikait-kaitkan dengan urusan berumahtangga. Coba, lelaki mana yang mau menikah dengan perempuan bukan perawan seperti aku? Meskipun lelaki itu belum tentu perjaka, tapi tetap saja posisi perempuan bukan perawan yang terkalahkan. Seperti yang terjadi kepada Iin (nama samaran), diceraikan suaminya ketika ketahuan dia bukan perawan. Padahal usut punya usut, hilangnya keperawanan Iin mutlak akibat kecelakaan masa kecil. Bukan karena diperkosa misalnya, apalagi sampai disebabkan berhubungan intim dengan pacar.

Aku memang tak lagi memiliki pacar. Namun seiring bergulirnya waktu, seorang lelaki berhasil memetik cintaku. Kami sempat dua bulan menjadi sepasang kekasih. Tapi kehidupan masa laluku yang suram, kemudian terberita kepadanya oleh beberapa mulut orang yang usil. Akhirnya kami putus. Begitu pula dengan pacar-pacarku berikutnya, selalu tak bisa menerima kehidupan masa laluku yang suram. Prinsip mereka, sebelum menikahi seorang perempuan, keperawanannyalah yang paling penting. Jadi buat apa memacari perempuan bukan perawan!

Ternyata meskipun diri ini sudah bertobat, lelaki-lelaki tetap saja tak bisa menerimaku apa adanya. Aku pun pasrah untuk menjadi perawan tua. Atau kalaupun aku kelak menikah, suamiku pasti tak jauh beda denganku. Dia mungkin bekas orang tak benar. Mungkin juga masih tetap menjadi orang tak benar. Seorang perempuan yang bermaksud menyindirku, pernah mengatakan bahwa perempuan penzina akan kawin dengan lelaki penzina. Begitu pula sebaliknya. Tapi bukankah aku sudah bertobat? Aku toh berhak juga menikah dengan lelaki baik-baik!

Hampir menginjak usia tiga puluh tahun, aku kemudian berkenalan dengan Saf (nama samaran). Dia lelaki yang alim. Karena sepenglihatanku dia senang berpakaian muslim, juga senang melakukan ibadah keagamaan, yang wajib maupun sunnah. Lagi pula dialah yang kemudian sering mengajariku tentang agama. Dia yang membuatku semakin menyenagi hidup berlimpah ibadah.

Lebih setahun kami bersahabat, tibalah  masa membahagiakan sekaligus menakutkanku. Saf mengatakan ingin menikahiku. Oh, Tuhan, aku bingung mau berbuat apa. Terbayang bagaimana malam pertama akan berakhir menakutkan. Saf mencak-mencak setelah menyadari aku bukan perawan  Alangkah malunya diri ini. Baru semalam menikah, aku langsung diceraikan.

Aku kemudian menekankan apakah dia memang serius menikahiku. Karena pasti dia tahu masa laluku yang suram dari orang-orang. Nyatanya niatnya tetap kuat menikahiku. Perduli kata orang. 

Tak sampai sebulan setelah dia berniat menikahiku, tibalah masanya aku melepas masa lajang. Meskipun acara pernikahan digelar cukup meriah, tapi sesungguhnya hatiku tetap tak tenang. Memang Saf sudah mengatakan dia tak perduli dengan masa laluku yang suram, namun bagaimana dengan urusan keperawanan? Maka itu usai acara pernikahan, aku berbohong kepadanya bahwa aku sedang datang bulan. Begitu juga di malam-malam berikutnya. Tapi mana mungkin aku berbohong terus setelah malam kesepuluh. Dia juga tahu kalau masa haid perempuan kurang lebih seminggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun