Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu V

13 Juni 2019   11:10 Diperbarui: 2 Agustus 2019   14:38 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ramainya pasar membuat kesempatan terbuka lebar baginya. John Peking telah pergi dan mengopi di warung sekitar tiga lemparan batu dari tempat Kecik berdiri. Kecik mengenakan setelan pakaian berbeda dari hari-hari biasanya. Sepatu kets putih nyaris buram. Kaos oblong berwarna coklat yang kedodoran. Celana tanggung berwarna hijau lumut seperti milik tentara. Topi koboi yang terlalu besar di kepalanya, tapi sangat berguna menyamarkan wajah tirusnya.

Matanya nyalang. Melirik ke kiri dan ke kanan, khas gaya pencopet. Seorang perempuan gemuk datang dari arah utara. Naluri Kecik menebak dia orang kaya. Pakaiannya berkelas. Ujung dompet menyembul dari lipatan tas yang dikepit perempuan itu sekadarnya.

Kecik melangkah pelan. Perempuan itu berhenti di dekat los ayam. Terjadi perbincangan sebentar antara dia dan pedagang. Tawar-menawar, mungkin. Kecik yakin perempuan itu sedang tak awas terhadap barang bawaannya. Begitu Kecik berdiri membelakangi perempuan itu, sigap tangannya meraih dompet.

Tak ada yang melihat. Kecik merasa aman, sehingga dia merasa tak perlu cepat berlari menjauhi perempuan itu. Tapi saat hendak membayar belanjaannya, perempuan itu sadar dan berteriak. Entah kenapa dia langsung menunjuk ke arah Kecik. Apa ada orang lain yang memberitahunya atau tidak, kurang jelas. Yang pasti massa ibarat lebah mengamuk. Kecik lari tunggang langgang. Sebuah gerobak es cendol terguling karena tak sengaja dia tabrak. Dia laksana terbang melompati selokan. Berbagai sumpah serapah termuntahkan dari pejalan kaki, manakala dia menerebos padatnya mereka di lorong yang menghubungkan pasar dengan bagian belakang sebuah super market.

Kecik terjatuh. Seseorang menjegal langkahnya. Massa merubung, memukul, menendang. Kiranya dia belum lihay menjadi pencopet. Entah dari mana terdengar suara tembakan. Massa berhambur ketakutan. Kecik merasakan seseorang menariknya, kemudian mengajaknya berlari menjauhi massa. Sebuah pick up kecil seperti sedang menunggu Kecik. Tanpa menunggu perintah, Kecik melompat ke bak pick up seperti yang telah diperbuat penolongnya. Pick up melaju kencang membiarkan massa merutuk sambil mengacung-acungkan tinju.

"Kau belum siap menjadi pencopet!" Suara orang itu terdengar berat. Matanya tajam menatap Kecik.

"Maaf, aku baru belajar. Barangkali lagi apes saja. Terima kasih sudah menolongku."

"Tak apa. Kau masih muda. Masih banyak waktumu belajar." Dia mengangsurkan sebungkus rokok. Kecik menampik.

Tak ada perbincangan di antara mereka sekian menit perjalanan. Langit Jakarta cerah. Biru. Kecik melihat tiga orang yang duduk tenang di bagian kabin. Seorang sopir dan lelaki berkepala botak di sebelahnya. Di pinggir, persis menempel di pintu kiri, seorang lelaki menggaruk-garuk kepalanya. Dia John Peking. Lapanglah dada Kecik. Ternyata orang yang menolongnya barusan adalah gerombolan John Peking. Hebat, hebat! Mereka memiliki senjata. Kecik melihat sesuatu seperti pestol menyembul di balik kaos lelaki di sebelahnya. Pasti lelaki itulah yang sengaja meletuskan senjata agar massa bubar.

Ada rasa bangga menyeruak di dada Kecik, meskipun dia sadar semakin jauh terjerumus ke lembah hitam. Dalam pikirnya kalau sudah tercebur ke sungai, baiklah mandi sekalian. Mau jadi bandit, harus menjadi bandit hebat. Tak setengah-setengah. Kalaupun nanti dia harus berpisah dengan Musa, kemudian harus minggat dari rumahnya, bagi Kecik tak mengapa. Toh dia tak lagi dihiraukan Musa. Meskipun lelaki itu berusaha agar terlihat tetap menyayangi Kecik,  bagaimanapun keterpaksaan sepintas tetap melesat di mata tuanya.

"Kita akan ke mana?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun