Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu V

13 Juni 2019   11:10 Diperbarui: 2 Agustus 2019   14:38 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kecik ibarat gadis pemalu ketika dia berhasil digoda John, dan dia bermula menjadi bandit kecil. Kepada Musa dia pandai berminyak air. Dia tetap membawa barang asongan ke terminal Pulo Gadung. Dia masih menjerit-jerit menawarkan dagangannya. Tapi ketika ada rencana bagus dari John Peking, dia rela hati menganggurkan asongannya. Dia permisi kepada Musa karena harus mengerjakan urusan penting. Atau dia beralasan ingin mengasong di tempat yang lebih ramai pembeli.

Musa bukanlah lelaki pemaksa. Dia membiarkan orang mengalirkan hidupnya sendiri seperti apa adanya. Musa membuat pematang yang bisa mengatur alur hidup sahabatnya. Tapi ketika alur hidupnya membandel, kemudian menerjang pematang hingga jebol, Musa hanya mampu mengelus dada. Begitupun dia tak ingin terjerumus ikut memanfaatkan pematang yang jebol. Biarlah orang lain atau sahabatnya hidup dilingkup dosa, asal saja dia tak ikut terjerat mencicip hasil keringat dari dosa itu.

Hati Kecik jelas menjadi tak nyaman. Musa selalu menampik setiap hasil keringat anak itu. Tak hanya masalah sewa mondok di rumahnya, mengenai biaya tambahan untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari, pun ditolak Musa mentah-mentah. Padahal semasa Kecik masih setia mengasong di bawah matahari yang membakar keringat, lelaki itu selalu menerima pemberian Kecik, meskipun selalu diawali penolakan halus sebagai basa-basi.

Di atas bale-bale, saat cahaya bulan purnama berserak di halaman rumah, dua lelaki itu duduk bersisian. Kecik menatap lurus ke depan. Musa sesekali memejamkan mata seolah menikmati setiap tarikan napas dari sebatang sigaret plat merah yang berbunyi gemeretek. Disungkup malam, nyala ujung kretek meningkahi cahaya bulan purnama yang terserak.

"Aku mau berbicara, Kek!" Pelan sekali suara Kecik. Lelaki di sebelahnya, bergeming. Angin malam menerbangkan bara api rokok. Sebutir kecil bara api itu jatuh di celananya. Lelaki itu menjentiknya dengan ujung jari telunjuk. "Tolong Kakek menjawab jujur."

"Berbicaralah! Tak ada yang melarang setiap orang di rumah ini berbicara. Karena gunanya mulut adalah berbicara." Kata-kata Musa berima dan seolah berfilsafat. Padahal sebelum Kecik tenggelam di dunia John Peking, Musa selalu ceplas-ceplos. Kata-katanya selalu ringan dan bershabat. Dia lebih banyak bercanda ketimbang sekarang berwajah tegang dan datar.

Kecik menarik napas. Berat rasanya menanyakan sesuatu---ibaratnya mengeritik---kepada orang yang mungkin tak ingin dikritik. Tapi membiarkan semua berjalan aman-aman saja, dengan kondisi sebenarnya, runyam bin hancur, toh membuat gerak-gerik Kecik tak lapang lagi di rumah Musa.

"Kenapa Kakek seperti menjauhiku?"

"Menjauh darimu? Apakah sekarang kita berjauhan? Jarakmu dan aku hanya sekian jengkel, Kecik!"

"Maksudku, sikap Kakek seolah menjauhiku. Kakek seperti mendiamkanku. Kakek juga selalu menolak uang pemberianku. Kenapa, Kek?"

"Kau telah terlalu larut dengan John Peking!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun