"Iya! Sudah seminggu ini aku melintas di sini, An! Kok aku tak pernah melihatmu? Kau ke mana saja? Ke negeri planet?" Lelaki itu tertawa. An merengut. Tapi ketika menikmati makanan dan susu di gelas itu, wajahnya kembali cerah. Dia bercerita bahwa memang hampir sebulan dia melanglang buana meninggalkan rumah. Penyebabnya yang pasti adalah aku. Kata An, ayahnya membawaku ke rumah ini tanpa ijin darinya. Padahal An mengaku sangat membenci aku.
Aku terkejut. Bagaimana An sanggup menghinaku demikian di depan lelaki yang kuagung-agungkan? Baru hari ini aku melihat An, tapi dia telah membuatku sakit hati. Padahal Bob, lelaki yang dipanggilnya ayah itu, sangat menyenangiku. Bahkan dia mewanti-wanti agar perempuan yang membawa keranjang super gede itu menjaga kesehatanku.Â
Memang aku adalah pendatang baru di sini. Katakanlah pungutan dari pasar sana. Namun An tak seharusnya membenciku. Dia mungkin anak kandung Bob, hanya saja sikapnya jangan angkuh begitu.Â
"Hai, baru kali ini aku melihatnya!" Lelaki itu berdiri. Dia mendekatiku. Orang yang aneh. Berarti selama ini dia tak pernah memperhatikanku. "Lumayan cakap!" Dia menatapku takjub. Aku merasa kelimpungan. Aku ingin mengatakan cinta kepadanya. Aku ingin memeluknya erat-erat dan tak membiarkannya lepas. Namun keinginan itu kubuang jauh-jauh. Aku tak ingin kecewa jika kelak dia tak tulus memujiku. Jika kemudian aku hanya bertepuk sebelah tangan.
"Rei, sudahlah! Masuk ke dalam rumah saja. Aku tak ingin  bertemu ayah. Aku hanya mau mengambil beberapa lembar gaun dan kembali ke rumah Om Panusi." An bergegas ke dalam rumah. Lelaki yang ternyata bernama Rei itu mengekorinya, sementara aku hanya merutuki diri sendiri. Kenapa di waktu yang tepat tadi aku tak langsung mengatakan jatuh cinta kepadanya?
"Aku cinta dia! Aku cinta dia!" jeritku.
Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Perempuan yang membawa keranjang super gede tadi langsung menghambur muncul sambil mesem-mesem. Bergegas didorongnya pintu pagar, membiarkan mobil itu masuk. Aku tahu di dalam mobil itu ada Bob. Aku ingin mengadu kepadanya tentang An yang menjengkelkan, tentang Rei yang kucintai setengah mati.
"Hai, Cim! Sehat-sehat saja?" sapanya.
"Aku benci An! Aku benci An!" jeritku.
"Anna maksudmu? Anna anakku? Apakah dia sudah kembali?"
"Aku benci An! Aku benci An!"