"Kecil-kecilan saja."
"Astagfirullah! Ayah, sadar, Yah!"
"Diam!"
Ayah selalu menunjukkan muka masam kepadaku setelah pertengkaran kecil itu. Bahkan mengajakku berbicara, pun kalau ada yang sangat penting untuk dibincangkan. Sementara hati ini semakin merana. Selain tak kuasa melihat perbuatan ayah, aku juga malu mendengar selentingan warga yang semakin santer. Pak RT pun pernah menegur perbuatan ayah melalui aku.
* * *
Malam hitam pekat sepekat kopi yang terhidang di meja teras rumah. Hujan barangkali akan turun sebentar lagi. Ayah dan beberapa temannya masih memirit kartu. Terdengar sesekali suara sengau atau tawa terbahak-bahak. Antara sadar dan tidak, mataku masih menelesuri lembaran jawaban para siswa tempatku mengajar.
Tiba-tiba aku mendengar suara ribut-ribut di teras rumah. Ah, paling-paling hanya perdebatan sengit antar pemain kartu. Tapi ketika aku mendengar suara ayah meminta ampun, aku bergegas keluar rumah disusul ibu yang berjalan terseok-seok.
Aku terbelalak melihat kondisi di luar rumah. Ada empat polisi di situ berdiri sangar. Sementara orang yang bermain kartu remi sudah mendekam di bak mobil pick up. Ayah termasuk di antaranya. Dia menatap ke arahku dan ibu seperti merasa bersalah.Â
Perlahan ayah melepaskan peci dari kepalanya, kemudian meremas-remasnya. Seiring mobil pick-up berjalan perlahan, aku melihat orang-orang menatapku seolah menghina. Aku merasa sangat malu. Sedemikian malu.
---sekian---