Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kartu Pak Haji

24 April 2019   17:14 Diperbarui: 24 April 2019   17:35 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

"Bolehkah Mien berbicara empat mata dengan Ayah?" Aku menemui ayah setelah teman-temannya yang bermain kartu remi itu pulang ke rumah masing-masing.

"Lho, biasanya jam dua pagi begini, kau sudah tertidur lelap." Dia seolah ingin mengalihkan perbincangan.

"Mien tak senang melihat ayah keranjingan main kartu terus."

Ayah duduk di sofa. Dia mengorek-ngorek lobang telinga. Mungkin dia menganggap perkataanku sepele. Atau dia malahan menganggap diriku yang sepele.

"Untuk apa kau mengurusiku? Kami sekadar main. Lagi pula itu perlu mengakrabkan warga. Apa kau pikir selama ini kami duitan? Kau salah besar!"

"Tapi bukanlah lebih baik kumpul-kumpulnya membicarakan agama?" Aku tertunduk melihat tatapan ayah yang tajam. "Beberapa tetangga kita juga mulai tak nyaman melihat kegiatan itu. Apa kata mereka? Hei, rumah Pak Haji jadi tempat permainan kartu remi! Aku malu, Pak!"

Dia menepuk sofa. "Kau mulai seperti ibumu. Kerjanya mengasih nasihat terus. Teguran terus. Urus diri dulu, baru mengurus diri orang lain."

Aku terdiam. Aku tahu maksud ayah. Sampai berusia tiga puluh tahun lebih begini, aku belum menemukan jodoh. Tak ingin sindirannya semakin tajam, aku memilih masuk ke kamar. Aku hanya bisa berharap semoga Allah membukakan pintu hati ayah yang tertutup rapat.

Entah ingin menunjukkan kekuasaan sosok ayah, dia semakin menggilai kartu remi. Bahkan pernah beberapa malam, ayah baru menutup pintu gerbang teras, saat jam menunjukkan pukul empat pagi. 

Lebih parah lagi, berbilang malam berkutnya, mereka mulai bermain kartu remi memakai duit. Sekali-dua aku mengintip dari sela pintu, bagaimana sumringahnya wajah-wajah mereka yang memperoleh kemenangan. Bagaimana kusutnya wajah-wajah yang mendapat kekalahan. Bahkan di antara mereka sering terjadi pertengkaran kecil. 

"Ayah bermainnya duitan, ya?" tegurku ketika dia hendak melaksanakan shalat Shubuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun