Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Depan Rumahku Ada Kolam

20 April 2019   11:20 Diperbarui: 20 April 2019   11:49 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Sejak gedung bertingkat tujuh itu berdiri di depan rumahku, tak ada lagi keleluasaan menghirup udara segar. Seluruh angin timur terbentur di sana. Padahal sebelum gedung ada, lahan di depan rumah hanyalah rawa-rawa. Tempat di mana angin melintas dan bebas menampar-nampar kegerahan. Tempat di mana anak-anak berebut menangkap belut ketika senja.

Memang bukan sekali-dua aku dan bebarapa tetangga memprotes rencana pendirian gedung itu. Bahkan kami pernah berdemo di depan kantor dewan. Tapi yang kami dapatkan hanya senyuman sinis. Kelompok berdasi itu menganggap kami hanya sebagai kumpulan orang yang tak ingin berkembang. Pemikir-pemikir kolokan yang selalu takut berspekulasi. Menurut mereka, ketakutan kami terhadap pendirian gedung itu tak beralasan. 

Pendirian gedung bertingkat tujuh, bagi mereka, adalah wujud kemajuan jaman. Wujud pembangunan yang merata secara material. Atau, katakanlah sebagai simbol dari kemodrenan.  Bahkan mereka menambahkan, gedung itu akan dibentuk menjadi sebuah hypermarket, yang akan memudahkan setiap orang memenuhi kebutuhan pribadinya.Dari kebutuhan tetek-bengek, instan sampai kubutuhan primer.

Tapi alasan tersebut bagi kami hanyalah lips service. Sesuatu yang menjadi iming-iming untuk menyenangkan pikiran sesaat. Karena dengan berdirinya gedung itu, otomatis rawa akan tertimbun. Kehidupan di dalamnya akan musnah. Dan yang paling kami takutkan adalah ketika musim hujan tiba.

Pasti, pasti halaman dan rumah kami akan tergenang air. Pasti, pasti kami akan berubah menjadi kuli yang setiap hujan reda harus berjibaku menggayung air keluar rumah. Lalu, bagaimana dengan nasib anak-anak? Bagaimana dengan perkembangbiakan nyamuk yang pasti akan melesat pesat? Ah, tak terbayangkan bagaimana buah-buah hati kecil kami akan berbaring lesu sebab terkena demam berdarah atau malaria.

***

"Pak, hujan turun lagi!" keluh istiku sambil memasukkan pakaian yang masih basah ke ember besar. Sebentar tadi dia sedang berusaha menjemurkannya. Tapi hujan buru-buru datang. Sehingga pakaian yang tak bisa dijemur selama tiga hari, kembali menghuni ember. Tentu dengan bau khas menyengat; apek!

Aku hanya mendesah. Kedua anak kami berteriak senang menyambut hujan. Sambil bertelanjang, mereka berlari ke halaman. Hujan pasti akan memberikan mereka berkah. Karena halaman depan, dalam kisaran waktu sepuluh menit, akan berubah menjadi kolam besar. Tempat di mana anak-anak senang bergulingan. Atau bermain bola sambil cekikikan. Ah, kubayangkan mereka sebentar lagi akan jatuh sakit. Terbayang tubuh-tubuh kecil itu akan terbaring lesu.

"Pasti banjir lagi ya, Pak! Rasanya aku sudah capek menguras air ketika hujan reda. Apa tidak sebaiknya kita meninggikan lantai rumah saja, Pak?" Istriku menghidangkan secangkir kopi pada saat yang tepat.

"Meninggikan lantai rumah?" Aku tersenyum hambar. "Bagaimana mungkin meninggikan lantai rumah tanpa biaya, Bu. Pendapatanku sekarang semakin seret saja. Tidak ada lagi yang senang menjahitkan pakaian kepadaku. Karena sekarang semua sudah tersedia di dalam gedung itu. Tersedia dengan bentuk siap pakai. Tak perlu harus mengukur badan. Tak perlu menuggu seminggu-dua atau berbulan. Asal ada duit, langsung bisa dikenakan."

"Ah, kalau saja gedung itu tak ada, halaman dan rumah kita pasti aman dari banjir. Anak-anak kita pun akan sehat-sehat. Tidak seperti sekarang sering gatal-gatal. Itu karena halaman dan jalanan di depan selalu tergenang air kotor. Air sampah pembuangan dari gedung itu."

"Kita tak bisa berbicara lagi, Bu. Kita hanya berhak diam. Karena kita orang kere yang tiada mampu membeli hak sendiri. Tiada mampu menentukan kenyamanan hidup. Ya, nasib orang miskin selalu begini. Selalu terpinggirkan," gerutuku sambil menghirup kopi perlahan.

Istriku terdiam. Dia kembali ke dapur melanjutkan kesibukannya. Sedangkan aku masih termenung memperhatikan hujan yang bertambah deras. Genangan air di depan rumah bertambah tinggi. Lalu semakin tinggi pula teriakan anak-anak dengan penuh keriangan.

***

Hujan tak hendak berhenti. Kolam dadakan di halaman depan semakin tinggi dan mulai memasuki rumah. Beberapa perabotan sudah dinaikkan ke atas meja. Sebagian lainnya terbiar di lantai, sehingga basah-kuyup. Kedua anak kami tak seceria tadi. Mereka sudah menggigil dengan bibir setengah biru. Pandangan mereka nanap manakala melihat seragam sekolah masih basah. 

"Yah, besok terpaksa libur lagi, Pak!" keluh mereka kesal. Aku pura-pura tak mendengar. Segera kuperas pakain seragam yang basah itu. Kujemurkan di atas lemari.

"Itulah, kalian kerjanya main melulu. Kalau hujan turun, tinggallah di dalam rumah. Kalian tahu kan rumah selalu kebanjiran setiap hujan turun."

Mereka terdiam. Mereka ikut membantu merapikan pakaian yang basah. Hujan bertambah deras. Air yang masuk ke dalam rumah semakin besar. Dari semata kaki, berubah selutut. Kemudian sepaha, sepusat!

"Banjir! Banjir! Banjir!" teriakan itu akhirnya mengakhiri perjuangan kami menyelamatkan harta benda dari genangan air. Kami bergegas menyelamatkan diri bersama para tetangga. Tujuannya hanya satu, mencari tempat lebih tinggi. 

"Kita gedung itu!" teriak Pak RT. Kami bergegas ke sana. Tapi akhirnya terhalang oleh barikade satpam.

"Kami mau menyelamatkan diri dari banjir!" Pak RT ngotot.

"Tidak bisa! Tidak bisa!" Mereka balas membentak.

Banjir pun semakin tinggi. Melahap lantai satu gedung itu. Barikade satpam pun buyar. Pengungsi semakin berjubel. Semua naik ke lantai dua, tiga, empat, lima, enam dan tujuh. Gedung penuh sesak pengungsi dan pengunjung. Berjubel mengutuki banjir. 

"Dulu kita tak pernah dilanda banjir. Kenapa sekarang sampai kebanjiran?" keluh masing-masing orang.

Seorang lelaki berseragam yang kukenal sebagai ketua dewan, pun ikut mengeluh. "Ya, banjir ini ada karena gedung ini ada. Seharusnya gedung ini tak dibangun di atas rawa-rawa."

Keputusan yang terlambat, batinku. Aku, istriku dan kedua anak kami menggigil meratapi nasib.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun