Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seribu Kakus

19 April 2019   19:31 Diperbarui: 19 April 2019   20:00 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Mamat lari tunggang-langgang sembari memegangi perutnya. Dia mengomel tak menentu. Bahkan suara omelannya bertambah meradang, manakala kakus umum berpenghuni. Ditendangnya pintu kakus kesal, sehingga si penghuni keluar dengan muka masam. Dia mengumpat sambil mencium tangannya yang tak tercuci bersih. Mamat hanya melengos. Masuk ke kakus dengan menutup pintunya tergesa. Lalu memperdengarkan lenguhannya yang lega.

"Brengsek orang itu! Aku masih tanggung, dia malahan nyerobot masuk!" Orang itu menatapku. Dia menghilang di belakang bedeng yang memanjang dari timur ke barat.

"Pagi-pagi kok ribut! Kenapa?" Mak Masykur melongok dari jendela kamarnya. Masih mengenakan handuk sebagai kudung. Sementara tubuh rentanya terlilit kain mandi yang masih basah. 

"Biasa, Mak! Setiap pagi, kakus memang berubah serupa istana." Aku tertawa geli.

Kakus umum itu memang satu-satunya tempat pembuang hajat di bedeng yang memiliki belasan pintu. Setiap pagi selalu menjadi rebutan. Selalu menjadi ajang pertengkaran, sehingga sesama penghuni bedeng harus lebih sering bermusuhan. 

Tapi tidak bagiku. Aku memiliki cara tersendiri untuk menghindari antrean di kakus umum yang beraroma menyengat itu. Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, aku sudah menyelipkan sebutir batu di kantong. Sebagai jimat, sehingga aku bisa melepaskan hajat di kakus kantor, yang tak perlu menunggu antrean usai. 

Begitu jam kantor selesai, aku sudah lebih dulu melahap buah kates barang tiga potong. Lalu mendekam seperti ayam mengerami telur di kakus. Memaksa seluruh isi perut keluar, sehingga setelah berada di bedeng, aku tak perlu berurusan dengan kakus umum.

Akhirnya setelah Mamat menguraikan hasratnya di kakus umum itu, dia keluar dengan wajah mesem-mesem. "Wah, ngerujak pagi-pagi memang bikin pusing kepala. Bikin mules-mules. Untung penghuni perutku masih bisa diajak kompromi. Kalau tidak, aku akan berak di celana. Memalukan dan membuat susah!"

"Salah sendiri, Mat! Pagi-pagi bukan sarapan ubi atau lontong, eh... malahan ngerujak. Itu namanya cari penyakit." Aku kembali sibuk membaca koran sambil sesekali menyeruput kopi panas. Minggu pagi begini, memang lebih enak dilalui dengan santai. Membaca koran sambil ngopi. Agak sorean, setelah tidur siang, baru dihabiskan berjalan-jalan di mall. Bukan untuk ngeceng apalagi berbelanja. Melainkan melepaskan hajat di kakusnya dengan gratis. Sebab penjaga pintu kakus itu adalah tetangga dekatku di bedeng.

Mamat tak beringsut juga dari dekatku. Dia duduk di seberangku sambil mencuri-curi meminum kopi panas itu. Aku meliriknya dengan ekor mata. Mendehem sekali sekedar menegur. Tapi Mamat memang berwajah badak. Kopi panas itu malahan dilahapnya sampai kandas.

"Masalah kakus ini perlu dibahas nanti malam dalam agenda rapat di kedai kopi Subangun. Kau tahu, setiap hari selalu ada pertengkaran karena perebutan benda keramat itu? Menurutku, kakus umum harus ditambah dua-atau tiga unit lagi. Biar lebih nyaman dan menghindari timbulnya pertengakarn di bedeng ini," katanya antusias.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun