"Mas!" Anehnya dia mesem-mesem, bukan masam-masam. Aku sedikit curiga.
"Ada apa?" Aku acuh tak acuh.
"Kita berangkat hari ini ke kampung. Tutuplah lapaknya."
"Kau meminjam uang pembeli tiket, ya? Kepada siapa? Rentenir itu?" Amarahku hampir meledak. Tapi kutekan sebisanya, mengingat aku sedang puasa.
Dia mendadak seperti perempuan yang malu-malu menemui calon suaminya. Dia memegang tanganku. "Maafkan aku dan anak-anak ya, Mas. Kami sempat memboikot Mas hanya karena rencana mudik, Mas gagalkan. Tapi perbuatan Mas mendapat restu dari Allah. Tadi aku menerima kiriman wessel dari sebuah perusahaan."
"Kiriman wessel? Maksudmu?"
"Ya, kita menjadi salah seorang penerima hadiah thr dari perusahaan itu, karena dua bulan lalu aku iseng-iseng ikut menjadi peserta undian dengan mengirimkan kotak bekas teh ke alamat perusahaan itu."
"Kau serius?"
"Dua rius!" Dia tertawa. Aku menatap langit. Allah benar-benar pemurah. Maha pemurah.
---sekian---