Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Lidah

4 April 2019   14:53 Diperbarui: 4 April 2019   15:17 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku terkejut setengah mati melihat seekor kucing membawa sepotong daging dari dalam kamar apartemenku. Kukejar binatang brengsek itu. Aku yakin dia telah menyelinap ke kamar apartemenku saat aku pulang dalam kondisi mabuk tadi malam. Barusan aku hendak membeli sarapan ke seberang apartemen, saat kucing itu menghambur dari dekat lemari es, lalu menyelinap keluar melalui sela pintu.

Sial! Penjagaan di apartemen ini tak memuaskan. Kenapa bisa ada kucing berkeliaran di sini? Apa pekerjaan satpam? Tidur?! Aku yakin kucing itu telah membawa lari sepotong daging yang kubeli di mall seberang apartemen kemarin sore.

"Kenapa, Mas? Pagi-pagi kok olahraga di apartemen? Ke lapangan saja dong!" Perempuan nyinyir berambut disasak tinggi, keluar dari salah satu ruangan dengan muncung maju. Tak kuperdulikan dia, selain mataku tertuju ke kucing yang tampak kebingungan karena tak tahu mau lari ke mana lagi. Rasakan, semua pintu masih tertutup! Jadi, sekarang kesempatanku mencekik leher binatang brengsek itu, lalu membuangnya dari lantai tiga.

Kucing yang merasa tak sanggup melarikan diri, akhirnya meletakkan sepotong daging itu. Dia meringkuk di sudut lorong. Begitu aku mencoba meraih dan menggendongnya, kucing itu buru-buru mencakar tanganku. Langsung saja dia kubuang melalui jendela.

Sambil menahan pedih di tangan, aku berjalan pelan mendekati sepotong daging itu. Dan sungguh, aku merasa sangat ketakutan. Daging itu bukan daging biasa seperti yang kubeli di pasar. Melainkan daging pipih, sedikit lonjong. Setelah menjungkitnya dengan ujung jari, barulah dapat kupastikan daging itu adalah potongan lidah manusia. 

Keringat mengucur di seluruh tubuhku. 

Jangan-jangan dalam satu ada dua hari ini, telah ada pembunuhan mutilasi di sini. Dan tujuan meletakkan sepotong lidah itu di apartemenku---yang kemudian dibawa lari kucing---mungkin untuk menguatkan alibi bahwa akulah pelaku pembunuhan mutilasi itu.

Brengsek! Kukepal tangan karena tak ingin terjebak dalam masalah. Andaikan aku memang tak dituduh sebagai pembunuh, paling tidak akan dijadikan saksi. Toh yang pertamakali menemukan potongan lidah itu adalah aku. Kalau aku memberi alasan bahwa yang pertama kali menemukan potongan lidah adalah kucing brengsek itu, apa orang akan percaya? Lagi pula kucing itu, sembilan puluh sembilan persen kuperkirakan sudah mati. 

Tak ingin terjebak para penghuni apartemen, aku berlari ke ruanganku di sebelah utara. Kukunci rapat-rapat pintunya. Kuselimuti tubuhku, lalu menyalakan ac dalam kondisi full. Aku tak ingin potongan lidah itu merepotkanku. Aku ingin ketika orang-orang menemukan benda menakutkan itu, kondisikulah yang paling aman. Setidak-tidaknya, untuk menjadi saksi pun tak pantas. Toh potongan lidah itu jauh dari apartemenku. Lagi pula, lihatlah aku sedang tertidur pulas.

Setengah jam kemudian, suara ribut-ribut di luar menggangguku. Pasti potongan lidah itu sudah ada yang menemukan. Lalu, tiba-tiba ada gedoran di pintu. Dengan malas kubuka selimut. Aku berjalan mendekati pintu. 

Di luar, kepala satpam tengah berkacak pinggang menatapku. Kepala satpam mengajakku ke ruangan pertemuan. Seluruh penghuni apartemen sudah ada di sana. Masing-masing melihat berkeliling secara awas. Seolah memastikan bahwa anggota keluarga masing-masing masih lengkap. 

Kepala satpam kemudian duduk di belakang meja. Potongan lidah itu diambilnya dari atas piring mempergunakan dua batang sumpit. Katanya,  "Telah terjadi pembunuhan sadis di apartemen ini. Tapi setelah melihat seluruh keluarga di sini lengkap, maka saya pastikan bahwa orang yang terbunuh dengan mutilasi, bukan salah seorang penghuni apartemen. Sebaliknya di sini telah berkeliaran seorang pembunuh berdarah dingin. Jadi, demi keamanan bersama, saya harap siapa saja yang menemukan potongan lidah ini pertama kali, tolong berterus terang. Saya harap infonya bisa memudahkan penyelidikan polisi. Tolong jangan ada yang berusaha berbohong. Selama si pembunuh mutilasi belum tertangkap, selama itu pula kita tak akan aman." 

Satu demi satu penghuni apartemen menjawab pertanyaan kepala satpam. Kendati ada yang menjawab panjang lebar, toh akhirnya mengatakan tak tahu. Kepala satpam terpekur. Kini tiba giliranku. Mungkin dia berharap aku bisa memberikan sedikit pencerahan muasal sepotong lidah itu. Tiba-tiba tubuhku menggigil.

"Namamu Sengkarut. Saya pikir kamu bisa memberikan penjelasan silang-sengkarut lidah ini." Kepala satpam menatapku tajam. Beberapa orang di dekatku berbisik. Beberapa tertawa lirih. Kepala satpam beralih menatap mereka dengan tak suka. "Ada apa? Kalian sengaja ingin menertawakanku?"

"Ah, si bos!" Seorang lelaki dengan gaya melambai, tersipu sambil menutup mulut. "Seperti tak tahu saja. Sengkarut kan tak bisa berbicara alias b-i-s-u." 

Kepala satpam hanya melengos. Rapat dadakan dibubarkan. Kepala satpam berencana membawa permasalahan sepotong lidah itu ke kantor polisi. Ach, perduli amat! Rencana membeli sarapan ke seberang apartemen, kutangguhkan. Lebih baik mandi dulu, lalu menuju rumah Riska. 

Saat menggosok gigi, kupandangi wajah kusutku di cermin. Dan tiba-tiba wajahku memucat.  Ternyata lidahku sudah hilang.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun