Kataku, "Aku tak bisa menjemputmu. Di sini hujan deras. Pulang naik taksi saja, gimana? Ada uang, kan?"Â
"Mmm, ada! Okelah, tunggu aku di depan lorong sekitar jam.... Ah, ya, nanti kutelepon saja kalau sudah hampir sampai."
Klik!
Aku meletakkan horn telepon. Di luar hujan mengamuk. Sudut ruang kamar---pertemuan antara lantai dan dinding---mulai dirembesi air. Sebentar lagi pasti menggenang hingga sebatas mata kaki. Segera aku bersijingkat menuju dapur. Takut kalau si kecil yang tidur di boks bayi, terbangun.
Sejak tadi perutku  menggelepar. Pilihan terbaik dan tercepat adalah mie rebus. Barusan sebelum istriku menelepon, aku sudah menjerangkan air panas. Sambil bersiul-siul kumasukkan sebungkus mie. Kutambahkan sebungkus mie lagi karena seraut wajah kuyu dan rambut kusut muncul di pintu.
"Kakak mau mie juga?" Basa-basiku.
"Mama belum pulang, ya?" Kakak duduk di kursi. Wajahnya ditekuk. Aku telah berjanji mengajaknya menjemput Esti, sekalian membeli mobilan. Tapi hujan terlalu cepat datang. Tadi, kakak tidur lelap dibekap dingin. Jadi, kubiarkan saja dia dengan mimpinya. Mungkin itu pilihan terbaik selain perkara hujan yang mencegah langkah kami menjemput Esti. Kemudian urusan si kecil menjadi yang paling utama.Â
"Mama pulang naik taksi. Kita tak jadi menjemputnya." Aku menuangkan mie ke dalam dua mangkok.
Hening tanpa suara bincang-bincang. Kami menyantap mie sambil mendecap-decap kepanasan. Kemudian kuputarkan video kesenangan si kakak. Kami sama-sama rebahan di atas sofa. Air yang merembes dari sudut rumah mulai menjangkau tengah lantai. Tumben, si kecil tak menangis minta susu. Mata kupejamkan.Â
Tiktak jam entah kenapa kemudian membuatku tersentak. Telah lebih sejam aku terlelap. Tivi mendesis dengan layar berwarna biru. Si kakak tidur meringkuk di ujung kakiku.Â
Aku terlambat menjemput Esti di depan lorong. Ini sudah lewat sejam setelah waktu biasa dia pulang kantor.