"Warnanya?"
"Ya, kuning! Memangnya ada emas berwarna hitam?" Dia terdiam. "Ada, Mas?"
Aku teringat sesuatu! Wah jangan-jangan benda itu. "Ya, coba aku cari dulu," jawabku mengakhiri perbincangan.Â
Aku ingat benda yang hampir membuatku terpeleset di kamar mandi tadi pagi. Benda berwarna kuning keemasan. Ah, kenapa aku sampai terkecoh, kemudian memukul-mukulnya hingga gepeng? Aku juga telah membuangnya dari jendela kamar tidur. Benda itu memang tak seperti antingan. Apalagi saat itu emosiku sedang meledak-ledak. Benda itu malahan kuanggap sebagai pembuat celaka. Bentuknya seperti mur. Tapi batangannya kecil. Sementara kepalanya bulat besar. Kalau tak salah hampir sebesar biji tekokak.
Buru-buru aku berlari kecil. Kuterjang pintu depan rumah, kemudian menyisir di bawah jendela kamar tidur. Rumput yang tingginya hampir selutut di situ, kusibak serumpun demi serumpun. Namun sangat sulit menemukan benda kecil itu. Apalagi sampah-sampah bekas bungkus rokok, permen, kue, dan koran bekas, membuat halaman samping kamar tidur seperti tempat pembuangan akhir. Jorok bukan main! Mungkin sepuluh bulan tempat ini tak dibersihkan. Tepatnya sejak aku, istri dan anakku tinggal serumah dengan bapak dan ibu mertua.Â
Sebelumya kami memang mengontrak rumah berjarak sekitar lima ratus meter dari rumah mereka. Berhubung tak ada teman bapak dan ibu mertua di rumah besar ini, akhirnya kami bela-belain tinggal bersama mereka.Â
Ya, sekarang aku sadar. Pantaslah ibu mertua betah merepetkan tentang halaman samping kamar tidur ini. Ternyata jorok nian!
Hampir setengah jam aku mengerjakan kesia-siaan. Meskipun dibantu lampu senter, toh antingan emas itu tak bisa kutemukan. Bisa jadi dia terselip entah di mana. Atau ada orang yang menemukannya. Lalu menjualnya ke toko emas.
Puas mencari, aku akhirnya luluh di kasur. Apa yang akan kukatakan kepada istri tentang antingan emas itu? Aku tak menemukannyakah? Ya, ya! Bisa jadi. Toh dia atau bapak dan ibunyalah yang sebenarnya teledor telah mencampakkan benda itu di kamar mandi.
Tapi satu yang patut kusesali, ternyata emosiku yang meledak-ledak menjadi pelengkap hilangnya antingan emas itu. Kalau saja aku tak marah-marah karena hampir terpeleset olehnya, mungkin benda itu akan kuperhatikan seksama. Aku juga akan menyimpannya di kamar. Aku bisa menelepon istri untuk menanyakan apakah dia merasa kehilangan benda berwarna kuning keemasan.Â
Ah, tak ada yang perlu disesali. Semua salahku sendiri. Kenapa aku tak mengadu kepada Allah saja? Ya, Allah, berbilang bulan sudah aku sering lupa kepada-Mu. Berbilang bulan sudah shalat wajibku bolong-bolong. Sekarang aku ingin kembali kepada-Mu.