Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Rumpun Semak Berduri

25 Februari 2019   14:14 Diperbarui: 25 Februari 2019   14:35 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di balik rumpun semak berduri itu, konon, dia lahir. Suaranya mengganggu senyap dini hari. Induk dan anak ayam, menjelma riuh. Memaksa sang jantan berkokok, mengira waktu shubuh tiba. Langkah kaki pun terdengar bergegas. Semua berhenti di dekat rumpun semak berduri itu. Sesama mata saling tatap. Sesama mulut bisu. Nyi Bedah buru-buru menggendong pemilik suara itu. Membalut tubuhnya dengan mukena yang belum dia lepas selepas shalat tahajud.

"Anak siapa, Nyi?" tanya seorang lelaki yang matanya masih rapat menahan kantuk.

"Anak siapa katamu? Memang ada yang tahu dia anak siapa? Seorang bayi yang lahir di balik semak, di dalam got, di pinggir kali, pastilah untuk mengaburkan siapa orang tuanya." Mbah Murad melotot ke arah lelaki itu. Lalu, si Mbah buru-buru berlari ke arah jamban umum. Dia lupa hajat awal, karena terganggu suara bayi itu.

Nyi Bedah memelihara bayi itu sampai dewasa. Dia  tak mengirimnya ke sekolah, kecuali mengajarnya cara mengais rejeki. Bagaimana mengadon gado-gado yang enak, hingga disukai pembeli. Bagaimana meramu kopi, hingga membuat penikmat betah berlama-lama di kedai. Kendati tanpa kepintaran mengadon dan meramu itu, sebenarnya pengunjung tetap ramai merubung kedai Nyi Bedah. Seperti tabiat kumbang, pastilah merubung kembang yang manis.

Perkenalan dengan Mat Borak, kemudian memberi jarak antara perempuan dewasa itu dengan Nyi Bedah. Dia menjadi lebih sering mengotori badannya dengan parfum, melumur wajah dengan gincu dan bedak tebal. Tak lagi tubuhnya berbau bumbu gado-gado. Tak pula bajunya terpercik tumpahan kopi. Dia yang awalnya kembang mawar di jalanan, menjelma kembang mawar di jambangan.

* * *


Di sebuah taman disiram cahaya lampu temaram, dua insan itu saling memagut tangan. "Kau serius mau menikah denganku, Mirah?" tanya Sukamto, semakin memagutkan tangannya.

"Harusnya aku yang bertanya kepadamu, Mas." Mirah melepaskan tangan yang berpagut. Dia mendongak menatap langit. Bulan di sana itu seolah lebih indah menawan ketika dia bersama Sukamto. Padahal bulan itu adalah bulan yang sama yang  dia lihat bersama Nyi Bedah ketika mereka melepas lelah di bale-bale depan kedai. Asmara memang membuat dunia semakin indah dan berwarna.

"Berarti kau mau?" Sukamto menyorongkan wajah. Mirah berpaling. Dia melesat pergi seolah kupu-kupu yang melepaskan diri dari kepompong. O, begitu indah mata Sukamto melihat perempuan itu. Dia yakin seratus persen bahwa pilihannya tak salah. Maka, selama seminggu di merayu ibunya demi melamar perempuan penjaga kedai itu.

* * *

"Kau harus berpikir panjang, Sukamto. Derajat kita berbeda. Masa' mau menikah dengan perempuan penjaga kedai! Lagi pula, untuk apa kau sekolah tinggi-tinggi, bergaul dengan kaum priyayi, pada akhirnya jatuh ke comberan? Kurang apa Latifa, Minah, Sukanti? Mereka cantik dan dari keturunan terpandang." Sang ibu tetap kukuh dengan pendiriannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun