Giliran nasi goreng kucicipi, kini tak sadar mataku mendelik. Nasi goreng itu terasa seperti air mata. Apakah aku gila? Apakah istriku menyeduh kopi dengan air matanya? Apakah nasi goreng itu digoreng dengan minyak dan bumbu air mata?
Tak ingin istriku kecewa, kuhabiskan hidangan pagi yang langka itu. Selepas mengecup keningnya, aku berangkat ke kantor dengan perasaan sedikit lega. Begitupun kopi dan nasi goreng berasa air mata itu menyela-nyela pikiran.
Saat sedang menikmati jatah makan siang di kantor, ponselku mendadak berbunyi. Tertera nama Ima, istriku, di layarnya. Hmm, perubahan baru, untuk pertama kali setelah meninggalnya Rukat, dia meneleponku.
"Ada apa Ima?" tanyaku lembut.
"Igor, ini Ibu. Ibu harap kamu jangan menangis. Yang tabah, Nak?"
"Ada apa dengan Ima, Ibu?"
"Pulanglah segera. Ibu harap kamu jangan menangis!"
---sekian---