Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Mijan

21 Januari 2019   12:05 Diperbarui: 21 Januari 2019   12:54 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Sudah beberapa hari ini tingkah Mijan sedikit aneh. Bahkan tingkahnya itu sekali-dua memicu perdebatan antara dia dan anak-anak kami, bahkan denganku. Muasal perkara adalah tivi. Tivi kami hanya satu. Jadi, kalau aku sedang menonton sinetron bubur misalnya, seisi rumah harus rela "makan" bubur meskipun gigi mereka masih utuh dan kuat.

Begitu juga ketika Usman, anak kami yang paling kecil, memutar film kartun, semua harus rela menjadi anak-anak. Apatah lagi ketika Mijan menonton debat politik atau acara olah raga, ya...kami semua harus siap-siap mendengar teriakannya mendukung sang jagoan. Mendengar gerutuannya memojokkan pihak lawan.

"Kenapa sih sekarang Ayah senang nonton acara binatang terus?" gerutu Isye, anak sulung kami. Tepat jam sembilan nanti, acara lomba nyanyi kesukaannya, akan tayang.  Sementara Mijan sedang fokus menonton discovey channel fauna. Kalau sudah terhidang kopi panas dan roti isi di hadapannya, jelaslahlah Mijan betah di depan tivi sampai pukul dua belas malam.

"Sudahlah! Nonton di rumah sebelah saja," saranku.

"Nonton di rumah Masni? Wah, bakal ketemu adiknya yang tengil itu." Isye buru-buru masuk ke kamarnya. Kemudian singa mengaum dari ruang keluarga.

Kelakuan aneh Mijan, belakangan membuatku harus berani menginterogasinya. Peduli amat meskipun status tempat tidur, ya...tentu untuk tidur atau bercinta. Aku takut Mijan stress. Mungkin hampir gila. Seingatku, salah seorang turunan keluarga besar Mijan, ada yang dirawat di rumah sakit jiwa.

"Mengapa aku senang menonton acara bin..., eh... hewan maksudku?" Mijan membuatku tersentak. Belum diinterogasi, dianya sudah main terus-terang duluan. Aku sedikit keki. Apa selain senang menonton acara fauna, dia juga memiliki indra ke enam? Wah, gawat! Bisa-bisa aku tak bebas merogoh kantong celananya bila kepepet kehabisan lipstik, pun perkakas make up lainnya.

"Iya! Anak-anak kan mau nonton juga. Kalau tivi kita ada lima, mungkin kita tak harus lebih sering berebut remote."

"Aku sadar kalian sebel. Tapi ini memang yang harus dilakukan. Coba, sekarang acara apa yang bermutu di tivi? Sinetron kebanyakan tak mendidik. Cerita tentang agama, eh, taunya hanya menjelek-jelekkan. Lalu, ngegosiiip melulu. Belum lagi itu tuh, tentang mistik-mistik. Tentang perseteruan tak jelas. Aku bosan. Politikus-politikus itu juga membuatku muak. Ngomong terus, tanpa tindakan yang benar."

Mijan berpidato panjang lebar. Aku merasa lega. Penjelasannya masuk akal. Berarti dia belum stress atau diambang gila. Tinggal aku sendiri yang pusing menghentikan pidatonya. Kecuali kemudian aku bisa menguap dan tertidur, membiarkannya nyap-nyap serupa radio buruk.

* * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun