Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Borang

19 Januari 2019   12:10 Diperbarui: 21 Januari 2019   17:08 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref . Foto : pixabay

Mereka menyebutnya Borang. Dalam bahasa kami, borang artinya berang-berang. Bukan lantaran tubuhnya menyerupai berang-berang dan mulutnya runcing dengan geligi tajam, melainkan dia kampiun di kampung kami. 

Setiap kali lubuk larangan1) dibuka, dia kerap kali  beroleh ikan yang banyak. Bahkan hampir sekarung ukuran lima puluh kilogram. Tentu saja di antara ikan-ikan itu ada yang ukurannya raksasa.

Malam ini kami berbicara cukup alot. Besok pagi lubuk larangan Aek Singengu2) dibuka. Dan dia ngotot menjadi salah seorang peserta penjala. Dia sibuk di rusuk rumah, di bawah lampu yang sedikit temaram, menyiapkan jala dan membenarkan beberapa bagian talinya yang putus.

"Tak usahlah Ayah pergi!" tekanku untuk kesekian kalinya. Dia seperti tuli.

Aku takut dia mengalami naas. Sudah lazim, lubuk larangan Aek Singengu yang dibuka saat lebaran tiba, selalu meminta tumbal nyawa. Memang tak terjadi setiap tahun, tapi selang-seling. Umpamanya tahun ini tak meminta tumbal nyawa, maka tahun depan ada saja orang yang mati kelelep. 

Begitu seterusnya. Kendati demikian, para petarung sungai, termasuk Borang ayahku,  tak ambil pusing. Beberapa dari mereka percaya bahwa Aek Singengu ada penunggunya, beberapa yang lain menganggap itu takhayul. Namun baik yang percaya maupun yang tak percaya tentang penunggu sungai itu, tetap saja menyemaki sepanjang  aliran sungai ketika lubuk larangan dibuka.

"Aku tetap pergi, Lian! Nyawa setiap orang di tangan Allah, bukan di tangan hantu atau begu-begu. Percuma kau sekolah tinggi sampai ke Medan, tapi otakmu masih udik." Dia tersenyum puas melihat jala yang digantung di teritis rumah sudah bagus dan terlihat tampan.

"Tapi besok itu pembukaan lubuk larangan pada lebaran keenam.  Bukankah Ayah tahu, sekali dalam dua tahun, sungai itu akan meminta tumbal nyawa? Tahun kedua, tulang si Bursok yang tergelincir dari atas batu besar di tengah sungai, lalu mati. Tahun keempat, naas menimpa Ruhum.   Saat membenarkan jalanya yang tersangut di dasar sungai, tak sengaja orang menjalanya. Dia kelelep dan mati. Nah, besok giliran siapa lagi? Sudahlah, kita menonton saja! Menjala ikan dengan uang."

"Tulang si Bursok itu, supaya kau tahu, mengidap penyakit darah tinggi. Bisa saja saat di atas batu besar itu darah tingginya kumat. Lalu pecah pembuluh darah, ya tewas jadinya. Akan halnya Ruhum, malam sebelum menjala, seperti kesetanan minum kopi. Seperti kesetanan tak makan apa-apa. Dan dia terjaga hingga pagi. Terang saja kena angin duduk." Dia meninggalkanku sambil menghirup kopi. Kak Mila yang mucul di ambang pintu rumah, dan mencoba membantu mengingatkan Ayah agar jangan pergi menjala besok pagi, beroleh semburan kopi tepat di pangkal kakinya.

Dan malam itu, aku dan Kak Mila tidur gelisah. Sebentar-sebentar melongok ke kamar Ayah. Si Borang itu seperti tiang, diam. Tidurnya lelap. Dengkurnya menggaruk sepi. Aku dan Kak Mila berharap moga-moga dengkur itu tetap berbunyi hingga fajar, saat kami berdua sudah berjibaku di dapur. Maklum, urusan lebaran banyak yang harus disiapkan dan dimasak. Banyak pula gelas dan piring kotor. 

Sementara mustahil berharap kepada Umak. Dia sekarang ibarat gedebong pisang di kamar belakang. Sakit yang tak jelas membuat tubuhnya kurus. Makan, minum, buang air, mandi, semua dia lakukan di atas kasur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun