BOLEHKAH WARGA NEGARA ASING MEMILIKI HAK MILIK ATAS TANAH?
Hukum Waris dengan objek waris berupa tanah, dengan adanya ahli waris yang merupakan Warga Negara Asing (WNA)
Sebelum Indonesia merdeka, terdapat penggolongan penduduk yang terbagi dalam 3 golongan  yaitu golongan bumi putera (pribumi), Timur Asing Tionghoadan Non-Tionghoa, dan juga Eropa. Namun setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 penggolongan penduduk ini dihapuskan, dan hanya berlaku Warga Negara Indonesia (WNI) dan juga Warga Negara Asing (WNA). Hal tersebut mempengaruhi berbagai hal termasuk dalam hal waris-mewaris. Sistem waris-mearis di Indonesia ini pluralistik, yang berarti banyaknya hukum yang berlaku di waktu yang sama, seperti hukum waris KUHPerdata yang berlaku khususnya bagi warga negara Indonesia keturunan (zaman dulu masuk ke golongan barat/eropa dan golongan timur asing tionghoa dan non-tionghoa), kemudian hukum waris Islam yang berlaku bagi warga negara yang beragama Islam, kemudian yang terakhir adalah hukum waris adat yang berlaku bagi masyarakat hukum adat.
Namun, dalam perkembangannya kita boleh memilih hukum mana yang akan digunakan dalam hal waris-mewaris ini asal sesuai dengan kesepakatan semua ahli waris. Contoh, A ini merupakan warga negara Indonesia yang menganut ajaran agama Islam, maka hukum waris-mewaris yang berlaku adalah hukum waris Islam, namun apabila semua ahli waris menyepakati untuk memakai hukum barat/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka diperbolehkan untuk memakai hukum barat tersebut. Hal ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang, namun dalam prakteknya semua masyarakat diperbolehkan untuk memakai hukum yang mana saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
Berikut merupakan definisi hukum waris menurut para ahli :
- Menurut R. Subekti (1985), hukum waris itu mengatur hal ihwal tentang benda atau kekayaan seseorang jikalau ia meninggal dunia. Dapat juga dikatakan, hukum waris itu mengatur akibat-akibat hubungan kekeluargaan terhadap harta peninggalan seseorang;
- Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro (1976), hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia (pewaris), dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain (ahli waris);
- Menurut J. Satrio (1992) , hukum waris adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga;
- Menurut Zainudin Ali (2010), Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai adanya pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga;
- Menurut Soepomo (1996), hukum waris mencakup aturan-aturan yang mengatur proses penyaluran dan transfer barang-barang berwujud dan tidak berwujud dari generasi seseorang kepada keturunannya.
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum waris adalah seperangkat aturan yang mengatur terkait harta kekayaan seseorang yang sudah meninggal dunia yang disebut dengan pewaris yang berkaitan dengan proses perpindahan harta kekayaan yang disebut harta warisan kepada ahli waris dan juga terkait akibat hukumnya bagi para ahli waris dan juga pihak ketiga.
Dalam hal kewarisan terdapat 3 unsur yakni pewaris, ahli waris dan juga harta warisan.
- Pewaris, yaitu orang yang telah meninggal dunia yang meninggalkan harta warisan baik itu benda berwujud maupun tidak berwujud. Dan juga memiliki ahli waris.
- Ahli waris, yaitu orang yang memiliki hubungan darah ataupun hubungan perkawinan dengan pewaris.
- Menurut KUHPerdata golongan ahli waris yaitu :
Golongan I: anak-anak serta keturunannya dan suami atau istri yang hidup terlama. (Pasal 852 KUHPerdata)
Golongan II: orang tua dan saudara kandung. (Pasal 854 KUHPerdata)
Golongan III: keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dari ayah dan ibu (kakek, nenek, kakek buyut, nenek buyut, dan seterusnya). (Pasal 853 KUHPerdata)
Golongan IV: sanak saudara dalam garis lurus ke samping (paman dan bibi, saudara sepupu, hingga derajat keenam). (Pasal 858 KUHPerdata).
- Harta warisan, yaitu segala harta kekayaan yang dimiliki oleh pewaris baik aktiva maupun pasiva. Â
Harta warisan itu mencakup segala hal termauk tanah. Tanah merupakan salah satu dari harta kekayaan berupa aktiva. Harta warisan ini menurut prinsipnya dapat terbagi kepada seluruh ahli waris, kecuali adanya ketentuan lain. Maka dalam hal ini ahli waris baik WNI maupun WNA bisa mendapat bagian. Namun dalam hal tanah ini terdapat ketentuan lain, yakni dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria Pasal 21, bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik (ayat (1)), kemudian dalam ayat (3) dijelaskan bahwa jika WNA memiliki tanah Hak Milik maka sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan,
demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah
berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan
hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau
hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak
milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh
pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya
tetap berlangsung.
Dalam Pasal tersebut tertera dengan jelas jika WNA memiliki tanah hak milik akibat pewarisan maka dalam waktu 1 tahun harus dilepaskan, jika tidak maka haknya akan hapus dan tanah tersebut akan menjadi milik negara. Oleh karena itu, WNA boleh memiliki tanah hak milik jika diperoleh dari peristiwa pewarisan, namun hak tersebut harus segera dilepaskan sebelum jangka waktunya berakhir, yakni dalam waktu 1 tahun. Jika tidak, maka tanah itu akan jatuh pada negara dan hak miliknya akan hapus.
Jadi, jika A telah meninggal dunia dan memiliki harta warisan berupa tanah kemudian memiliki ahli waris sebagai berikut :
- C (Warga Negara Indonesia)
- D (Warga Negara Indonesia)
- E (Warga Negara Asing)
- F (Warga Negara Asing)
- G (Warga Negara Indonesia)
Maka, semua ahli waris bisa mendapat bagian atas tanah tersebut, namun untuk E dan F yang merupakan WNA maka haknya atas tanah hak milik itu harus segera dilepaskan dengan cara apapun, baik jual-beli atau kegiatan lainnya. Jika tidak maka haknya akan hapus dan tanah tersebut akan jatuh ke tangan negara.
Dasar Hukum :
UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) : Pasal 21 ayat (1) dan (3)
KUHPerdata : Pasal 852, 853, 854, 858
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI