Menemukan Cinta pada Kebenaran:
Refleksi mendalam terhadap kisah Cincin Gyges mengajak kita untuk menemukan cinta pada kebenaran, memahami bahwa integritas sejati tidak hanya bertahan di hadapan ketakutan, tetapi merupakan pilihan sadar untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang benar.
Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan dan matra kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, keadilan sosial merupakan perwujudan sekaligus cerminan imperatif etis keempat sila dalam Pancasila lainnya.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu diliputi dan dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Bahkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 dan sudah diperbaharui setelah Reformasi dengan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 mengatur pengamalan sila ke-5 Pancasila tersebut sebagai:
Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menghormati hak orang lain. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum. Suka bekerja keras. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Cerita Cincin Gyges mengungkapkan bahwa secara alamiah manusia itu memang cenderung untuk berbuat Yang tidak Adil, jika tidak ada orang yang melihatnya. Hanya orang bodoh saja yang melakukan perbuatan Yang Adil, jika tidak ada yang melihatnya. Orang melakukan Yang Adil itu karena tidak ingin ketahuan, tertangkap basah dan takut hukuman. Orang berbuat adil itu tidak pernah didasarkan pada kehendak baiknya, namun demi kepentingan dirinya sendiri belaka. Cerita cincin ini menjelaskan bahwa untuk hidup adil itu sungguh sangat sulit dan jika seseorang dapat lolos dari hidup Yang tidak Adil, maka hidupnya akan jauh lebih baik, bahkan jika dibandingkan dengan Gyges yang telah berhasil meraih kekuasaan raja.
Plato. "Cincin Gyges." Dalam Plato dalam Dua Belas Volume, Jilid 5 dan 61, diedit oleh Paul Shorey, Bagian 357a-361d. Cambridge, MA: Pers Universitas Harvard, 1969.
Problematika Hukum di Indonesia (Yahya Ahmad Zein 2022)
KONTEKS SEMIOTIKA KESENIAN DALAM KAJIAN KEBUDAYAAN (T Bramantyo 2021 )
Diskursus David Hume : Pemahaman Filosofis terhadap Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia ( Y Arifin 2023 )