Dalam kisah Dewa Ruci, terdapat seorang prajurit gagah bernama Bima, yang akrab dipanggil Werkudara, diberi tugas penting oleh gurunya, Resi Durna. Tugas tersebut adalah untuk menemukan sumber air suci yang konon dapat memberikan kesempurnaan hidup, yang dikenal sebagai Tirta Perwita. Meski tampak sebagai tugas yang mulia, namun sebenarnya tugas itu diberikan dengan maksud terselubung, yaitu untuk menjauhkan Bima dari keterlibatannya dalam Perang Bharatayuddha yang akan segera terjadi.
Bima menerima titah gurunya dengan hati penuh kesetiaan dan tekad yang bulat. Dia memulai perjalanan panjangnya ke tempat-tempat berbahaya yang telah ditetapkan oleh Resi Durna, tempat-tempat yang dipenuhi dengan berbagai macam rintangan dan cobaan yang menguji keberanian dan keteguhannya.
Bima diperintahakn untuk melakukan perjalanan ke gua gunung Candramuka. Setelah menyelidiki gua tersebut, dan tahu bahwa air yang dicarinya ternyata tidak ada, ia pun menghancurkan Sebagian gua sehingga membua dua raksasa yang tinggal di sana marah, yaitu Rukmuka dan Rukmakala. Terjadilah pertikaian antara mereka, yang akhirnya dimenangkan oleh Bima. Saat sedang beristirahat usai pertempuran, ia bersandar pada sebuah pohon beringin.
Tak lama kemudian, suara tak berwujud yang berasal dari Batara Indra dan Bayu memberi tahu bahwa dua raksasa yang dibunuh Bima ternyata memang sedang dihukum Batara Guru. Lalu mereka memerintahkan Bima agar kembali ke Astina karena air kehidupan tak ada di gua tersebut.
Ketika Bima tiba di Astina, ia segera mendatangi Drona. Sang guru dengan bijaksana menjelaskan bahwa ujian sebelumnya hanyalah bagian dari proses pembelajaran. Tanpa ragu, Drona memerintahkan Bima untuk melangkah ke tepi samudra demi mencari air kehidupan.
Meskipun semua kerabatnya mengkhawatirkan keputusan tersebut dan memperingatkan akan kemungkinan jebakan, Bima tetap teguh dan berkomitmen untuk melaksanakan perintah sang guru. Ketika sampai di tepi samudra yang ganjil, Bima merasakan gelombang perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.
Dia memusatkan pikiran sejenak sebelum akhirnya memasuki samudra yang dalam. Dengan menggunakan kesaktian Aji Jalasegara yang diperolehnya dari Batara Bayu dalam perjalanan sebelumnya, Bima mampu menembus lapisan air, bahkan mampu bernapas di bawahnya. Di dasar samudra, ia langsung dihadang oleh seekor naga yang ganas. Bima terlibat dalam pertarungan sengit dengan naga tersebut. Kedua makhluk itu bergulat dalam perlawanan sengit, dan Bima dengan lihai menggunakan Pancanaka untuk mengalahkan dan mengakhiri nyawa sang naga.
Tiba di Astina, Bima kembali menemui Drona, sang guru, yang beralasan telah menyusuri samudra yang sama. Di sana, Bima menemukan seorang dewa kerdil bernama Dewa Ruci, dengan wajah yang menyerupai dirinya sendiri. Meski ukurannya tak lebih besar dari telapak tangan Bima, Dewa Ruci memberi perintah agar Bima memasuki telinga kirinya.
Dengan keajaiban yang tak terduga, Bima berhasil merasuki telinga dewa kerdil itu, menemukan dunia yang luas di dalamnya. Dewa Ruci menjelaskan bahwa air kehidupan tidaklah terletak di luar, melainkan ada di dalam setiap manusia itu sendiri. Bima menghayati ajaran Dewa Ruci yang sebenarnya merupakan representasi dari dirinya sendiri, yang muncul sebagai peneguh karena kesetiaannya dalam mematuhi perintah sang guru, Drona, dengan sepenuh hati.
Dalam pengalaman itu, Bima dihadapkan pada empat macam cahaya, yang masing-masing berwarna hitam, merah, kuning, dan putih. Menurut Dewa Ruci, cahaya tersebut dikenal sebagai Pancamaya, yang hadir dalam relung hati setiap manusia. Sementara cahaya hitam, merah, dan kuning, merupakan penghalang-penghalang yang memengaruhi hati. Cahaya hitam mewakili kemarahan, yang menghalangi dan mengaburkan niat baik.
Cahaya merah melambangkan nafsu yang menghalangi kesadaran akan kewaspadaan. Cahaya kuning menandakan kecenderungan merusak. Sedangkan cahaya putih melambangkan ketenangan dan kemurnian hati, yang terbebas dari prasangka, dan menonjol dalam kedamaian yang utuh. Dengan demikian, cahaya hitam, merah, dan kuning merupakan penghalang-penghalang yang menghambat pikiran dan kehendak yang sejati, sementara cahaya putih mewakili keutuhan Sukma Mulia.