Mohon tunggu...
Rie Rie
Rie Rie Mohon Tunggu... -

Saya itu, bisa jadi nyleneh dan membosankan. Atau bisa pula menyenangkan, peduli dan mau mengerti. Entahlah, itu semua tergantung bagaimana Anda mengenal dan menilai saya. Tapi yang pasti saya itu orangnya realistis dan straight forward. Saat ini saya adalah TKW Hong Kong, saya tidak mempunyai mimpi untuk menjadi terkenal atau bos sekembali saya nanti, saya hanya ingin orang lain masih mengenang dan mengingat saya setelah saya mati. Oiya, kalau Anda sempat, kunjungi rumah maya saya di www.babungeblog.blogspot.com Salam.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Melajang

29 November 2012   07:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:29 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_211962" align="alignleft" width="190" caption="Adakah yang bisa membaca aksara Jawa itu?"][/caption] Batasan usia untuk menikah bagi wanita kini semakin bergeser. Entah karena belum siap lahir dan batin atau karena masih menyukai kebebasan sendiri, keduanya adalah kemungkinan yang menjadikan wanita menunda melengkungnya janur kuning. Di Asia, wanita melajang dianggap tabu. Herannya seringkali ketakutan untuk masih melajang ini dimiliki oleh orang-orang tua. Rasa takut lebih akut di Asia. Wanita lajang melewati usia 30 dipandang dengan kecurigaan dan belas kasihan. Padahal kita (yang melajang) berpikir tentang orang-orang yang menunda pernikahan sebagai pribadi yang bebas melakukannya karena pilihan, perempuan yang tetap melajang bersifat sosial dan menolak atau belum menikah karena keadaan. Banyak sebutan nylekit disandangkan pada spinster. Orang Jepang menyebut mereka "makeinu" (anjing pecundang) karena telah gagal diberikan Tuhan misi mereka. Orang Cina menyebut mereka "sheng nu" (gadis sisa). Sedang orang Jawa menyebutnya "prawan tuwa" atau "prawan kasep" (perawan tua atau perawan kadaluarsa). Di Asia, --utamanya Indonesia-- yang penuh dengan stigma-stigma ini, membuat ruang gerak wanita untuk melajang menjadi sempit. Sebagai contoh: pada setiap pertemuan keluarga atau pun pertemuan dengan rekan kerja, pertanyaan yang terdengar wajar itu sungguh-sungguh menggigit. "Masih single ya?" atau "Kapan nikah?" Trus musti jawab gimana coba? Tidak menjawab atau salah menjawab ntar malah dikira lesbian, iya khan? Walau semasa kecil wanita-wanita ini telah dicekoki dengan cerita-cerita princess yang menikah di usia 17 tahun, namun kenyataan tidak segampang film Snow White atau Sleeping Beauty, yang hanya dengan sedikit sengsara kemudian mendapat Prince Charming lalu menikah setelah ultah ke-17. Life is not disneystory kawan! Banyak pula wanita-wanita yang lebih mementingkan kariernya dari pada yang lain. Meski berpendidikan, pandai, mapan, tapi mencari/mendapat jodoh bagi mereka mungkin tak semenarik meniti karier. Dan ada pula wanita-wanita yang meski bukan tergolong sebagai wanita karier tapi juga memilih untuk melajang. Saya, misalnya. Lhah mau dibilang karier gimana, wong kerjanya aja sebagai pembantu alias babu. Pekerjaan sebagai pembantu khan enggak bakal naik pangkat atau jabatan, iya khan? Kalau naik gaji masih mungkin, itu pun kalau bosnya berbaik hati, ikhlas mensedekahkan uangnya kepada orang yang dengan menggerutu mengosek WC-nya dua kali dalam sehari, empat belas kali dalam seminggu, 420 kali dalam sebulan, 5.040 kali dalam setahun dan 10.080 kali dalam satu kontrak kerja. Bayangkan! Cinderella-cinderella bertitel babu yang enggak bakal berubah menjadi princess ini bukannya tidak menginginkan untuk menikah, namun ya memang keadaan belum memungkinkan. Tuntutan ekonomi dan (mungkin) keluarga yang sudah kadung tergantung dengan besarnya duit trasferan menjadi salah satu kendala. Belum lagi sempitnya atau minimnya waktu dan kesempatan untuk mengenal pria. Namun baik di Indonesia maupun para pekerja migran yang masih melajang ini ada sedikit akal untuk mencari jodoh, ya kalau-kalau nyangkut. Jejaring maya seperti Yahoo Messenger, Facebook, Skype menjadi alternatif. Ada juga whatsapp (whatsapp tuh termasuk maya bukan ya?).

foto dari takemeoutindonesia.com Tayangan kurang mutu seperti Take Me Out Indonesia juga dijadikan salah satu solusi.Yang mana para wanita cantik berpakaian seksi yang sedang desperate ini menimbang dan mengukur kelayakan seorang laki-laki dari fisik, pekerjaan dan kemapanannya (itu menurutku, yang gak setuju silakan protes). Nah, ini juga menjadi bukti bahwa wanita lajang (terutama yang desperate di Take Me Out Indonesia tadi) sebenarnya juga tak kurang usaha. Masalahnya adalah pertemuan (di dunia maya atau nyata) itu mudah, tapi membuat pertemuan dua nyawa beda jenis kelamin tersebut sebagai pertemuan hati, itu yang sulit. Menjadi wanita yang tegar dan percaya diri itu malah dua kali lebih sulit. Wanita sudah terlanjur didoktrinasi dari kecil untuk mengalah dan menyerah, untuk tidak usah berbicara/mengeluarkan pendapat sebelum orang tua bicara, untuk menjadi wanita somahan yang jinak. Jelasnya wanita telah makan lebih banyak garam daripada laki-laki. Beberapa wanita tetap melajang karena pilihan sebenarnya bukan karena mereka mengharapkan seorang prince charming yang datang dengan mengendarai kuda putih. Namun laki-laki makin hari tidak lagi memiliki kedewasaan dan integritas yang cukup sebagai laki-laki, sebagai akibat dari perubahan sosial. Mungkin ini pula yang menyebabkan banyak wanita lebih memilih laki-laki yang jauh lebih tua. Laki-laki seumuran justru berpotensi menjadi balita ketimbang laki-laki. Mosok wanita harus ngopeni wong lanang? Tentu saja untuk menjadi adil, akhir-akhir ini wanita juga banyak yang kehilangan feminitasnya. Seksi, cantik, sensual tapi sebatas untuk membuat first impression atau sexual attraction saja, melupakan sisi femininitas yang menjadi ciri wanita. Waktu telah berubah, tetapi beberapa norma masih harus utuh (ditegakkan?), maka perang gender berlanjut. Jadi siapa yang harus disalahkan?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun