Mohon tunggu...
Ridwan Nur Rahman
Ridwan Nur Rahman Mohon Tunggu... -

Pencinta Indonesia, Penggemar Berat Kuliner Nusantara Yang Senang Jalan2 Keliling Negeri. Jayalah Negeriku Sejahteralah Bangsaku

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Waspada Krisis Moneter Jilid Dua

2 Maret 2015   23:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:15 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dollar Amerika Serikat makin tak berdaya dan hampir menembus level psikologis. Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia menunjukkan, rupiah pagi ini diperdagangkan pada level 12.993 per dollar AS. Rekor terlemah setelah krisis moneter 1998, kurang lebih 15 tahun terakhir. Kondisi ini sepertinya belum dianggap sesuatu yang mengkhawatirkan para pemangku kepentingan negeri ini, karena mengangggap pergerakan naik turun rupiah adalah hal yang sangat biasa dan masih dalam batas kewajaran. Dan argument dasar yang sering dikemukakan adalah bahwa pelemahan ini lebih banyak diakibatkan oleh faktor eksternal bukan fundamental. Tetapi untuk lebih detail kita coba urai persoalan yang sesungguhnya.

Sentimen eksternal

Market global mengalami twin shocks yaitu harga komoditas dunia yang cenderung menurun dalam waktu yang bersamaan seperti Batu bara, karet, dan kelapa sawit. Dan harga minyak mentah dunia yang belum membaik walaupun sudah bergerak naik hingga USD 60 per barrel. Disisi yang lain ekonomi eropa juga masih belum pulih. Tiongkok sebagai salah satu lokomotif ekonomi dunia juga mengalami pertumbuhan yang melambat, jepang bahkan sempat mengalami resesi akibat pertumbuhan ekonomi yang negative selama tiga kuartal berturut2. Namun disisi yang berbeda ekonomi amerika serikat justru mengalami peningkatan, seiring rilis data2 ekonomi yang dikeluarkan otoritas pemerintahan dan akan semakin menguat seiring rencana percepatan kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat ( The Fed ).

Kondisi Makro Ekonomi Domestik kekinian

Berdasarkan data statistic yang dikeluarkan Bank Indonesia, Utang Luar negeri per November 2014 sebesar 294,389 Milliar Dollar. Yang terdiri dari Utang pemerintah 127,289 Milliar Dollar, dan Utang swasta 160,544 Milliar Dollar serta utang BI 6,565 Milliar Dollar. Cadangan devisa Indonesia per akhir Januari 2015 sebesar 114,25 Milliar Dollar meningkat 2,39 Milliar Dollar dibandingkan dengan cadangan devisa per akhir desember 2014. Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hari ini mencatat rekor terbaru sepanjang massa di level 5.477. Sedangkan untuk inflasi Januari 2015 tercatat sebesar 6.96 %, terjadi penurunan bila dibandingkan laju inflasi December 2014, yang sebesar 8.36 %.

Apa makna angka2 tersebut diatas? Kita coba telaah lebih lanjut. Dengan cadangan devisa sebesar 114,25 Milliar Dollar ternyata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan impor selama 6.5 bulan saja, bandingkan dengan cadangan devisa brazil yang sama2 negara emerging market yang mencapai US$361 milliar dollar per akhir Januari2015 (tradingeconomics.com). Cadangan devisa kita bertambah karena disebabkan oleh penerbitan obligasi global oleh pemerintah bukan karena hasil ekspor, ekspor kita 65 % adalah produk komoditas ( produk primer ) yang notabene harganya saat ini cenderung melemah, karenanya produk komoditas saat ini tidak bisa diharapkan untuk memasok Dollar. Akibatnya jika terjadi goncangan yang sangat besar, Bank Indonesia tidak mempunyai cadangan devisa yang cukup lebar untuk kebijakan sterilisasi di pasar valas. Pendek kata cadangan devisa kita saat ini sangat riskan untuk menopang nilai tukar rupiah yang dipatok APBNP 2015 sebesar 12.500 USD. Diperparah lagi dana hasil ekspor banyak parkir diluar negeri, Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) memperkirakan, total asset orang Indonesia di luar negeri mencapai USD 1,2 trilliun atau Rp 3.000 trilliun (metrotvnews.com 29/1/2015) suatu jumlah yang sangat fantastis. Dana tersebut jauh lebih banyak dari nilai belanja APBN 2015 Indonesia yang sebesar 1.994,9 Trilliun.

Disisi lain 70 % total barang impor merupakan bahan baku, barang substitusi impor masih dianggap langka. Bisa dibilang dari bangun tidur sampai tidur lagi kita diserbu oleh barang2 produksi luar negeri. Ketahanan pangan kita sangat rapuh, beras, kedele, daging sapi bahkan garampun kita masih harus impor. Lele yang merupakan makanan rakyatpun, menurut Ibu Susi menteri kelautan, ternyata pakannya masih impor, begitu juga Bahan Bakar Minyak ( BBM ) yang merupakan barang sangat strategis. Bisa dibayangkan jika kecenderungan rupiah terus menerus melemah apalagi dalam waktu yang relatif lama, cadangan devisa bisa habis terkuras hanya untuk sterilisasi rupiah, dan bisa dipastikan harga2 barang akan meningkat secara tajam. Walaupun angka inflasi sendiri relative stabil bahkan menurun 1.4 % terhitung dari Desember 2014 ke Januari 2015, tetapi perlu dicatat terjadinya deflasi saat ini hanya karena penurunan harga BBM. Tetapi ketika rupiah melorot tajam, akan terjadi hal yang sebaliknya bahkan bisa terjadi hiperinflasi.

Portofolio hutang yang lebih besar dibandingkan cadangan devisa tentunya juga sangat mencemaskan, apalagi jika tingkat hutang luar negeri swasta jauh lebih tinggi dibandingkan pemerintah. Dengan rezim devisa bebas yang kita anut, sulit untuk mengontrol posisi hutang swasta. Jika dollar terus menerus menguat, bisa dipastikan hutang swasta pun akan membengkak berkali2 lipat. Ada teori konspirasi yang mengemukakan, bahwa hutang luar negeri swasta kita sengaja akan dikerek hingga melewati batas psikologis bobot currency mismatch dari Debt Service Ratio ( DSR ) yaitu jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Sehingga ketika nilai dollar terlalu tinggi dalam waktu relatif lama, perusahaan2 nasional akan banyak yang default, sehingga memudahkan para bankir2 hitam kelas kakap dunia akan membeli obral perusahaan2 Indonesia. Pola yang berulang terjadi, persis ketika krismon 98 dahulu, walaupun secara fundamental dan prospek usaha perusahaan2 tersebut bisa dikatakan sehat, akibat hutang jatuh tempo yang meningkat drastic, membuat cashflow mengering sehingga banyak asset2 strategis baik swasta maupun BUMN2 kita diobral murah dan jatuh ketangan asing.

Disisi lain situasi politik yang cenderung rentan gejolak, memungkinkan investor akan hengkang mencari daerah safe heaven baru. Karena bagaimanapun aliran uang hot money akan mencari daerah yang lebih stabil dengan tingkat keuntungan yang lebih menarik. Ketimbang harus menanggung resiko karena gejolak politik yang tidak menentu. Adapun peningkatan IHSG yang terjadi adalah semata2 karena sentimen jangka pendek semata, bukan karena keinginan berinvestasi dalam jangka yang lebih panjang

Solusi alternative

Untuk solusi jangka pendeknya ada beberapa solusi yang bisa digunakan. Yang Pada prinsipnya adalah keharusan untuk mengurangi penggunaan dollar amerika sebagai instrumen transaksi pembayaran internasional. Sebagai alternative bisa menggunakan hard currency lainnya misalkan dengan euro, Yen atau Yuan. Ini bisa dilakukan dengan kerjasama bilateral G to G atau B to B dengan negara tertentu, yang pastinya harus didukung pemerintah negara masing2. Rusia sudah melakukan kerjasama dengan pemerintah Tiongkok untuk menggunakan Yuan sebagai alat pembayaran transaksi luar negerinya untuk mengurangi ketergantungan kepada dollar amerika.

Yang kedua adalah mendorong digunakannya pola perdagangan barter seperti era presiden Habibie, dimana pesawat ditukar dengan beras ketan. Ini adalah ide brilliant dari Habibienomics yang pada waktu itu justru mendapatkan kecaman bernada merendahkan yang luar biasa dari masyarakat kita sendiri, padahal ada manfaat yang tersembunyi yang tidak bisa dipahami oleh kebanyakan orang. Apalagi hampir semua raw material yang digunakan oleh negara2 industri ada di Indonesia, situasi ini harus menjadi strength point untuk menaikkan posisi tawar dalam bertransaksi. Karena bagaimanapun tanpa bahan baku yang memadai dan berkelanjutan, industry manufaktur tidak akan berjalan secara maksimal.

Tindakan yang harus dilakukan selanjutnya adalah membangun iklim usaha yang kondusif dengan cara mempermudah regulasi dengan memangkas birokrasi menjadi perizinan satu pintu, menghapuskan biaya2 siluman yang tidak perlu ( high cost economy ) sehingga perekonomian akan berjalan secara efisien. Jaminan stabilitas keamanan juga menjadi pertimbangan utama dalam berinvestasi, karena bagi investor bagaimanapun dana harus cepat diputar ditempat yang aman dan menguntungkan.

Berikutnya Bank Indonesia harus memperketat arus dana yang akan berpindah keluar negeri ( capital outflow ) dengan cara menambah syarat2 atau klausul tertentu dalam prosedur administrasinya, disisi sebaliknya arus uang masuk ( capital inflow ) harus dipermudah dengan prosedur yang jauh lebih “ramah”. Tindakan yang juga harus dipikirkan adalah harus ada upaya “paksa” menarik dana2 orang Indonesia yang parkir diluar negeri. Kebijakan ini tidak bisa cukup hanya dengan himbauan semata, perlu pendekatan secara legal formal. Misalkan saja ada sanksi atau insentif tertentu, jika dalam batas waktu tertentu pembayaran transaksi ekspor sudah diterima, maka devisa tersebut diwajibkan masuk kedalam bank account di dalam negeri. Jadi jika ada punishment maka seyogianya harus juga disediakan reward yang menarik supaya kebijakan dapat berjalan secara efektif dan business friendly

Sedangkan solusi jangka panjangnya adalah terbangunnya supremasi dan kepastian hukum ( law enforcement ). Tanpa adanya perlindungan hukum yang memadai bisa dipastikan Investor akan berbondong2 merelokasi bisnisnya ke Negara lain. Disisi lain investor Luar negeri juga harus didorong untuk menanamkan investasinya secara langsung ( Foreign direct investment ) karena bisa menghasilkan multiplier effect yang nyata kepada masyarakat. Tidak hanya keharusan untuk menyerap tenaga kerja local saja tetapi juga diharuskan untuk menggunakan kandungan local yang maksimum sehingga manfaatnya akan semakin besar dirasakan masyarakat. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan, disisi lain tentunya juga wajib memenuhi dan memanjakan kebutuhan2 dasar investor, seperti penyediaan dan perbaikan infrastruktur jalan, jembatan, sarana komunikasi, serta aliran listrik dan instalasi air.

Bagaimanapun Indonesia masih menjadi acuan utama investor, tidak hanya local tetapi juga dunia. Pasar yang luas dan sumber daya alam yang melimpah merupakan daya tarik tersendiri dibandingkan negara2 lain, ibarat bunga yang selalu dikelilingi oleh kumbang2. Tetapi kalau para pemangku kepentingan seolah2 bersikap bahwa sentimen2 yang terjadi saat ini hanya temporary sifatnya, tanpa didukung kesiapan kebijakan fiscal dan moneter yang terintegrasi dalam rangka menghadapi the worst thing maka kekhawatiran terjadi krisis moneter jilid kedua adalah sebuah keniscayaan. Akankah Indonesia akan mengalami krisis moneter jilid dua? Wallahu alam bisshawab

Ridwan Nur Rahman

Pemerhati Ekonomi


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun