Mohon tunggu...
Ridwan Lasim
Ridwan Lasim Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perilaku Anti Korupsi di Indonesia

19 Desember 2018   14:09 Diperbarui: 19 Desember 2018   14:29 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanggal 9 Desember yang lalu di peringati sebagai Hari Anti Korupsi (HAK) Sedunia. Penetapan HAK ini dilakukan oleh PBB sebagai bentuk perlawanan terhadap korupsi dan untuk membangkitkan kesadaran serta kewaspadaan terhadap maraknya korupsi.

Peringatan tahun ini merupakan peringatan yang ke 15 sejak pertama kali ditetapkannya Hari Anti Korupsi Sedunia. Melalui resolusi 58/4 pada 31 Oktober 2003, PBB menetapkan 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia. Dengan penetapan tersebut PPB juga mewajibkan negara anggotanya dengan serius memerangi dan mencegah korupsi.

Korupsi adalah musuh bersama yang telah lama menjadi parasit, yang secara sengaja mengerogoti sendi-sendi keadilan dan membajak kebijakan serta mengorbankan kepentingan masyarakat. Kerusakan yang ditimbulkan juga tidak sederhana, karena berskala masif dengan dampak jangka panjang, sehingga pada banyak kasus dapat dilihat korelasinya dengan penurunan kualitas kehidupan masyarakat. Untuk itu, korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga penanganannya harus mendapat prioritas utama.

Korupsi menjadi masalah di banyak negara di dunia. Tak terkecuali Indonesia
juga mengalami masalah korupsi dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Korupsi berdampak hampir pada setiap sendi kehidupan
masyarakat. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Oleh KPK, Polri dan Kejaksaan seperti tidak ada habisnya. Tiap tahun justru makin banyak kita temui para pejabat pemerintah yang tertangkap akibat kasus korupsi. Sejak didirikan pada tahun 2003 KPK telah banyak mengungkap kasus korupsi, mulai yang melibatkan pejabat pemerintah daerah, pejabat pemerintah pusat bahkan sekelas mentri.

Bukan hanya korupsi dalam skala besar, namun perilaku korupsi ini masih banyak juga kita temui dalam skala kecil seperti dalam proses pelayanan public. Sikap koruptif dalam pelayanan publik seperti penyuapan, pemerasan dan nepotisme menjadi cikal bakal korupsi yang lebih besar, jika para oknum terus dibiarkan. Ini semua menjadi peringatan bagi kita semua bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana tindakan preventif (pencegahan)  agar tidak terulang pada masa yang akan datang.

Perilaku korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut hal-hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa berasal dari internal pelaku korupsi, pola-pola budaya lokal maupun dari faktor lingkungan sosial secara luas. Salah satu akar penyebab berkembangnya praktik korupsi diduga berasal dari rendahnya integritas para pelakunya dan masih kentalnya budaya permisif (Memaklumi) terhadap tindakan korupsi.


Indeks Perilaku Anti Korupsi

Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2002 telah melakukan survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK). Tujuan survei adalah untuk mengukur persepsi, pengetahuan, perilaku, dan pengalaman individu terkait anti korupsi di Indonesia. SPAK juga mengukur sejauh mana budaya "zero tolerance" atau tidak mentolerir terhadap korupsi sudah terinternalisasi dalam setiap individu.

Data yang dikumpulkan mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal perilaku penyuapan (bribery), pemerasan (extorton), dan nepotisme (nepotsm).

Berdasarkan Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) yang dilakukan oleh BPS, terlihat bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) masyarakat Indonesia di tahun 2018 sebesar 3,66 pada skala 0 sampai 5. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan capaian tahun 2017 yang berada pada posisi 3,71.

Sebagai bahan informasi : Nilai indeks yang semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, sebaliknya nilai IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif (memaklumi/memperbolehkan) terhadap korupsi.

IPAK 3.66 ini menunjukkan adanya pemahaman dan penilaian masyarakat terhadap perilaku anti korupsi yang semakin baik.

Namun yang menarik, Dari 6 tahun pelaksanaan penilaian perilaku anti korupsi sejak tahun 2012 diperoleh informasi bahwa Posisi skor pengalaman anti korupsi masyarakat selalu lebih rendah dari skor pengetahuan atau persepsi anti korupsi masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan atau perbaikan dalam pengetahuan atau persepsi anti korupsi masyarakat tidak dipraktekkan dalam kehidupan keseharian masyarakat untuk menghindari atau terhindar dari pengalaman yang beresiko korupsi.

Dengan kata lain meskipun memiliki pengetahuan dan sikap yang menolak tindakan koruptif tidak selalu sejalan dalam praktek kesehariannya. Hal ini disebabkan masyrakat masih sangat permisif dengan budaya-budaya yang tanpa disadari hal itu menjadi awal dari perilaku koruptif. Sebagai contoh, dari hasil survei ini masih ada 30.3 persen masyarakat yang menganggap wajar/lumrah jika memberikan uang melebihi ketentuan pada saat pengurusan administrasi seperti mengurus KTP dan Kartu Keluarga.

Padahal untuk menjadi bangsa yang anti korupsi sikap permisif terhadap tindakan koruptif harus kita tinggalkan. Karena praktek-praktek seperti inilah yang menjadi bibit korupsi yang lebih besar dikemudian hari.

Hasil survei ini seakan mengkonfirmasi makin banyak OTT yang dilakukan KPK tahun ini. Sampai akhir tahun 2018 ini saja, Berdasarkan data yang di keluarkan oleh KPK, KPK telah melakukan 37 Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kepala Daerah. Jumlah ini jauh lebih banyak dari OTT tahun 2017 yaitu 19 kali. Bahkan OTT tahun 2018 diklaim sebagai OTT terbanyak sepanjang sejarah berdrinya KPK.

Peran Keluarga membentuk pribadi Anti Korupsi

Pemberantasan korupsi tidak hanya bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku korupsi, tapi juga bagaimana pencegahan dilakukan  agar tidak terus terulang. Pemberantasan korupsi mari bersama kita serahkan kepada aparat penegak hukum. 

Namun untuk urusan pencegahan tidak bisa kita hanya berharap kepada KPK, Kejaksaa, ataupun polri. Pencegahan diperlukan upaya dari semua pihak, mulai dari level pemerintah pusat, pemerintah daerah, bahkan sampai level keluarga. Keluarga harus berperan jauh lebih aktif melawan korupsi sejak dini. 

Dari hasil SPAK oleh BPS, diperoleh hasil bahwa indeks keluarga memiliki skor tertnggi dalam membentuk perilaku anti korupsi sejak dini. Peran ini lebih tinggu dibanding dengan lingkungan yang berada di psosisi ke dua.

Perilaku kecil dan sederhana dalam keluarga perlu dibiasakan untuk membentuk pribadi anti korupsi sejak dini, contohnya membiasakan anggota rumah tangga untuk tidak menggunakan barang milik anggota rumah tangga yang lainnya tanpa seizing pemiliknya.

Begitu pula dengan istri yang harus mempertanyakan asal usul uang, jika menerima uang tambahan di luar pengahasilan suaminya.

Dengan sikap-sikap seperti ini diharapkan keluarga bisa menjadi pioneer upaya pencegahan korupsi diindonesia. Sekaligus membantu mengurangi korupsi di masa yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun