Mohon tunggu...
Ridwan Lanya
Ridwan Lanya Mohon Tunggu... mahasiswa

Ridwan Lanya, Mahasiswa "MENULISLAH SEBELUM DITULIS"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen : Aku dan Flatus

4 Februari 2025   19:53 Diperbarui: 4 Februari 2025   19:02 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gelap dan sedikit terang 

Dulu, aku sering berjalan di trotoar dengan kaki ringan, berharap dunia ini, meskipun penuh hiruk-pikuk, masih bisa sedikit teratur. Tapi sekarang, setiap langkah terasa berat, bahkan lebih berat dari membawa beban yang tidak tampak. Aku berjalan bersama Flatus, sahabat yang mungkin bisa dianggap aneh oleh orang lain, tetapi bagiku, Flatus adalah teman yang tak pernah mengkhianati.

Flatus bukanlah seseorang yang bisa terlihat oleh mata, namun kehadirannya bisa dirasakan setiap saat. Ia datang tanpa permisi, kadang dengan bau yang tak terelakkan, kadang dalam diam yang mencekam. Seperti mereka yang merajalela di ujung, yang tak tampak, tapi jejaknya meninggalkan bau yang mengganggu, entah di ruang rapat, entah di meja makan. Flatus sering datang pada waktu yang paling tak tepat, seperti mereka yang punya wewenang namun mengabaikan suara rakyat.

Pernah suatu kali, aku terdiam di sebuah warung kopi, menyaksikan percakapan antara dua pria paruh baya. Mereka berbicara tentang penangkapan seorang penting yang terlibat dalam kasus kasus besar. Satu berkata, “Mereka hanya dihukum ringan, ya? Apa bedanya dengan Flatus yang meski tidak berwujud, tetap saja mengganggu setiap kali ia keluar?”

Aku tertawa dalam hati, karena sejujurnya, dunia ini semakin tampak seperti pertunjukan sirkus. Rakyat ditunjukkan kejahatan yang berulang-ulang, yang tidak pernah bisa dihentikan. Sementara yang berkuasa, bahkan tak cukup malu untuk tersenyum, dan yang dihukum hanya sikit kali. Para pelaku, seperti Flatus, datang tanpa suara, hanya meninggalkan rasa tidak nyaman yang tak bisa dijelaskan, namun tetap tercium dalam setiap napas kehidupan.

sipunya ujung ini bagaikan sekumpulan orang yang, meski bisa melihat penderitaan, tetap memilih untuk menutup mata. Mereka lebih suka menunggu Flatus datang dan pergi, berharap masalah bisa hilang dengan sendirinya. Mereka lebih memilih untuk berdansa dengan hausan daripada menanggung konsekuensi dari tindakan mereka. Mereka begitu terbiasa dengan "kehadiran" yang mengganggu ini, sehingga tidak ada lagi yang merasa perlu untuk membersihkannya.

Flatus, yang hanya hadir saat dunia benar-benar sesak, memberiku tanda bahwa kita telah sampai pada titik yang tidak bisa dibalikkan lagi. Seperti negara ini yang, meskipun banyak yang berteriak, tetap berjalan dengan kebohongan yang sama. Orang-orang yang dulu memuja keadilan, kini hanya bisa menahan napas, berharap ada angin segar yang membawanya pergi, tanpa tahu kapan dan bagaimana.

Aku menatap langit yang gelap, lalu tersenyum tipis. Seperti Flatus, dunia ini juga akan terus berjalan—meskipun semakin tak bisa dipahami dan semakin sulit untuk dicintai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun